Friday 8 June 2012

ASAM NUKLEAT, REPLIKA DNA, DAN BIOSINTESIS PROTEIN DALAM SEL


ASAM NUKLEAT, REPLIKA DNA, DAN BIOSINTESIS PROTEIN DALAM SEL

A.  ASAM NUKLEAT
1.      Pengertian Asam Nukleat
Asam nukleat adalah biopolymer yang berbobot molekul tinggi dengan unit monomernya mononukleotida. Asam nukleat terdapat pada semua sel hidup dan bertugas untuk menyimpan dan mentransfer genetic, kemudian menerjemahkan informasi ini secara tepat untuk mensintesis protein yang khas bagi masing-masing sel. Asam nukleat, jika unit-unit pembangunnya deoksiribonukleotida , disebut asam deoksiribonukleotida (DNA) dan jika terdiri- dari unit-unit ribonukleaotida disebut asam ribonukleaotida (RNA).

DNA (deoxyribonucleic acid) merupakan senyawa pembangun gen yang bila diuraikan terdiri 3 komponen sederhana :
a.       Senyawa base, yaitu amina heterosiklik yang dikenal sebagai purin (adenine = A, guanine = G) dan pirimidin (timin = T, sitosin = C, dan urasil = U.
b.      Gula berkarbon 5 (ribose atau 2-deoksiribosa),
c.       Asam fosfat
DNA tersusun dari gula 2-deoksiribosa , basa-basa nitrogen adenine (A), guanine (G), timin (T), dan sitosin (C). struktur DNA adalah heliks ganda (double helix). Keteraturan DNA dikenal sebagai aturan pasangan basa (base-pairing rules) yaitu jumlah adenine sama dengan jumlah tamin (A=T), jumlah guanine sama dengan jumlah sitosin (G=C), jadi jumlah basa purin sama dengan jumlah basa pirimidin (G+A = C+T).

RNA berperan penting dalam sintesis protein yang berlangsung dalam sitoplasma. Ada tiga bentuk RNA yang terdapat dalam sel, yaitu mRNA (messenger RNA), rRNA (ribosom RNA), dan tRNA (transfer RNA). Tiap bentuk RNA mempunyai bobot molekul dan komposisi yang berlainan tetapi khas untuk tiap macam bentuk RNA. Ketiga RNA ini terdiri atas rantai tunggal poliribonukleotida . RNA mempunyai bagian untaian berganda yang terjadi akibat pembolakan rantai membentuk suatu bentuk yang mirip tusuk konde. Proses hidrolisis lebih lanjut dari monomer nukleotida akan dihasilkan asam fosfat dan nukleosida. Proses hidrolisis ini dilakukan dalam suasana basa. Jika hidrolisis dilanjutkan kembali terhadap senyawa nukleosida dalam larutan asam berair akan dihasilkan molekul gula dan basa nitrogen dengan bentuk heterosiklik. Sehingga komposisi molekul penyusun asam nukleat diketahui dengan jelas, seperti yang ditunjukkan gambar 14.54 hingga bagan pada Gambar 14.57.




Gambar 14.54. Molekul sederhana asam nukleat








Gambar 14.57. Skema hidrolisis Asam nukleat
Dari Gambar 14.54 tampak bahwa struktur utama asam nukleat adalah molekul gula yang mengandung asam posfat dan basa Nitrogen yang dihubungkan dengan ikatan posfodiester membentuk rantai panjang. Monomer nukleotida dapat dilihat pada Gambar 14.55 dan 14.56.






Gambar 14.55. Molekul Nukleotida







Gambar 14.56. Molekul Nukleosida
Senyawa gula penyusun nukleotida merupakan gula dengan atom Karbon 5 (lima) yaitu 2-deoksi-D-ribosa dan D-ribosa, lihat Bagan dibawah ini.






Bagan 14.58. Molekul penyusun Asam nukleat
Basa nukleosida yang ditemukan pada asam nukleat adalah adenin (dilambangkan A), sitosin (C, dari cytosine), guanin (G), timin (T) dan urasil (U), lihat Bagan 14.58.
Asam nukleat dalam sel terdiri dari DNA (DeoxyriboNucleic Acid) dan RNA (RiboNucleic Acid). Kedua jenis asam nukleat ini memiliki perbedaan basa purin yang merupakan molekul penyusunnya. Untuk RNA disusun oleh gula D-ribosa dan basa urasil. Sedangkan untuk DNA disusun oleh gula 2-deoksi-D-ribosa yaitu gula D-ribosa yang kehilangan gugus OH pada atom C nomor 2 dan basa timin.
2.    Struktur Molekul

Asam nukleat merupakan salah satu makromolekul yang memegang peranan sangat penting dalam kehidupan organisme karena di dalamnya tersimpan informasi genetik. Asam nukleat sering dinamakan juga polinukleotida karena tersusun dari sejumlah molekul nukleotida sebagai monomernya. Tiap nukleotida mempunyai struktur yang terdiri atas gugus fosfat, gula pentosa, dan basa nitrogen atau basa nukleotida (basa N). Ada dua macam asam nukleat, yaitu asam deoksiribonukleat atau deoxyribonucleic acid (DNA) dan asam ribonukleat atau ribonucleic acid (RNA). Dilihat dari strukturnya, perbedaan di antara kedua macam asam nukleat ini terutama terletak pada komponen gula pentosanya. Pada RNA gula pentosanya adalah ribosa, sedangkan pada DNA gula pentosanya mengalami kehilangan satu atom O pada posisi C nomor 2’ sehingga dinamakan gula 2’-deoksiribosa. Perbedaan struktur lainnya antara DNA dan RNA adalah pada basa N-nya. Basa N, baik pada DNA maupun pada RNA, mempunyai struktur berupa cincin aromatik heterosiklik (mengandung C dan N) dan dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu purin dan pirimidin. Basa purin mempunyai dua buah cincin (bisiklik), sedangkan basa pirimidin hanya mempunyai satu cincin (monosiklik). Pada DNA, dan juga RNA, purin terdiri atas adenin (A) dan guanin (G). Akan tetapi, untuk pirimidin ada perbedaan antara DNA dan RNA. Kalau pada DNA basa pirimidin terdiri atas sitosin (C) dan timin (T), pada RNA tidak ada timin dan sebagai gantinya terdapat urasil (U). Timin berbeda dengan urasil hanya karena adanya gugus metil pada posisi nomor 5 sehingga timin dapat juga dikatakan sebagai 5-metilurasil

3.      Sifat-sifat Fisika-Kimia Asam Nukleat

Di bawah ini akan dibicarakan sekilas beberapa sifat fisika-kimia asam nukleat. Sifat-sifat tersebut adalah stabilitas asam nukleat, pengaruh asam, pengaruh alkali, denaturasi kimia, viskositas, dan kerapatan apung.
a.       Stabilitas asam nukleat
Ketika kita melihat struktur tangga berpilin molekul DNA atau pun struktur sekunder RNA, sepintas akan nampak bahwa struktur tersebut menjadi stabil akibat adanya ikatan hidrogen di antara basa-basa yang berpasangan. Padahal, sebenarnya tidaklah demikian. Ikatan hidrogen di antara pasangan-pasangan basa hanya akan sama kuatnya dengan ikatan hidrogen antara basa dan molekul air apabila DNA berada dalam bentuk rantai tunggal. Jadi, ikatan hidrogen jelas tidak berpengaruh terhadap stabilitas struktur asam nukleat, tetapi sekedar menentukan spesifitas perpasangan basa. Penentu stabilitas struktur asam nukleat terletak pada interaksi penempatan (stacking interactions) antara pasangan-pasangan basa. Permukaan basa yang bersifat hidrofobik menyebabkan molekul-molekul air dikeluarkan dari sela-sela perpasangan basa sehingga perpasangan tersebut menjadi kuat.
b.      Pengaruh asam
Di dalam asam pekat dan suhu tinggi, misalnya HClO4 dengan suhu lebih dari 100ºC, asam nukleat akan mengalami hidrolisis sempurna menjadi komponen-komponennya. Namun, di dalam asam mineral yang lebih encer, hanya ikatan glikosidik antara gula dan basa purin saja yang putus sehingga asam nukleat dikatakan bersifat apurinik.
c.       Pengaruh alkali
Pengaruh alkali terhadap asam nukleat mengakibatkan terjadinya perubahan status tautomerik basa. Sebagai contoh, peningkatan pH akan menyebabkan perubahan struktur guanin dari bentuk keto menjadi bentuk enolat karena molekul tersebut kehilangan sebuah proton. Selanjutnya, perubahan ini akan menyebabkan terputusnya sejumlah ikatan hidrogen sehingga pada akhirnya rantai ganda DNA mengalami denaturasi. Hal yang sama terjadi pula pada RNA. Bahkan pada pH netral sekalipun, RNA jauh lebih rentan terhadap hidrolisis bila dibadingkan dengan DNA karena adanya gugus OH pada atom C nomor 2 di dalam gula ribosanya.
d.      Denaturasi kimia
Sejumlah bahan kimia diketahui dapat menyebabkan denaturasi asam nukleat pada pH netral. Contoh yang paling dikenal adalah urea (CO(NH2)2) dan formamid (COHNH2). Pada konsentrasi yang relatif tinggi, senyawa-senyawa tersebut dapat merusak ikatan hidrogen. Artinya, stabilitas struktur sekunder asam nukleat menjadi berkurang dan rantai ganda mengalami denaturasi.
e.       Viskositas
DNA kromosom dikatakan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi karena diameternya hanya sekitar 2 nm, tetapi panjangnya dapat mencapai beberapa sentimeter. Dengan demikian, DNA tersebut berbentuk tipis memanjang. Selain itu, DNA merupakan molekul yang relatif kaku sehingga larutan DNA akan mempunyai viskositas yang tinggi. Karena sifatnya itulah molekul DNA menjadi sangat rentan terhadap fragmentasi fisik. Hal ini menimbulkan masalah tersendiri ketika kita hendak melakukan isolasi DNA yang utuh.
f.       Kerapatan apung
Analisis dan pemurnian DNA dapat dilakukan sesuai dengan kerapatan apung (bouyant density)-nya. Di dalam larutan yang mengandung garam pekat dengan berat molekul tinggi, misalnya sesium klorid (CsCl) 8M, DNA mempunyai kerapatan yang sama dengan larutan tersebut, yakni sekitar 1,7 g/cm3.  Jika larutan ini disentrifugasi dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka garam CsCl yang pekat akan bermigrasi ke dasar tabung dengan membentuk gradien kerapatan. Begitu juga, sampel DNA akan bermigrasi menuju posisi gradien yang sesuai dengan kerapatannya. Teknik ini dikenal sebagai sentrifugasi seimbang dalam tingkat kerapatan (equilibrium density gradient centrifugation) atau sentrifugasi isopiknik.

4.      Sifat-sifat Spektroskopik-Termal Asam Nukleat

Sifat spektroskopik-termal asam nukleat meliputi kemampuan absorpsi sinar UV, hipokromisitas, penghitungan konsentrasi asam nukleat, penentuan kemurnian DNA, serta denaturasi termal dan renaturasi asam nukleat. Masing-masing akan dibicarakan sekilas berikut ini.
a.       Absorpsi UV
Asam nukleat dapat mengabsorpsi sinar UV karena adanya basa nitrogen yang bersifat aromatik; fosfat dan gula tidak memberikan kontribusi dalam absorpsi UV. Panjang gelombang untuk absorpsi maksimum baik oleh DNA maupun RNA adalah  260 nm atau dikatakan λmaks = 260 nm. Nilai ini jelas sangat berbeda dengan nilai untuk protein yang mempunyai λmaks = 280 nm.  Sifat-sifat absorpsi asam nukleat dapat digunakan untuk deteksi, kuantifikasi, dan perkiraan kemurniannya.
b.      Hipokromisitas
Meskipun λmaks untuk DNA dan RNA konstan, ternyata ada perbedaan nilai yang bergantung kepada lingkungan di sekitar basa berada. Dalam hal ini, absorbansi pada λ 260 nm (A260) memperlihatkan variasi di antara basa-basa pada kondisi yang berbeda. Nilai tertinggi terlihat pada nukleotida yang diisolasi, nilai sedang diperoleh pada molekul DNA rantai tunggal (ssDNA) atau RNA, dan nilai terendah dijumpai pada DNA rantai ganda (dsDNA). Efek ini disebabkan oleh pengikatan basa di dalam lingkungan hidrofobik. Istilah klasik untuk menyatakan perbedaan nilai absorbansi tersebut adalah hipokromisitas. Molekul dsDNA dikatakan relatif hipokromik (kurang berwarna) bila dibandingkan dengan ssDNA. Sebaliknya, ssDNA dikatakan hiperkromik terhadap dsDNA.
c.       Penghitungan konsentrasi asam nukleat
Konsentrasi DNA dihitung atas dasar nilai A260-nya. Molekul dsDNA dengan konsentrasi 1mg/ml mempunyai A260 sebesar 20, sedangkan konsentrasi yang sama untuk molekul ssDNA atau RNA mempunyai A260 lebih kurang sebesar 25. Nilai A260 untuk ssDNA dan RNA hanya merupakan perkiraan karena kandungan basa purin dan pirimidin pada kedua molekul tersebut tidak selalu sama, dan nilai A260  purin tidak sama dengan nilai A260 pirimidin. Pada dsDNA, yang selalu mempunyai kandungan purin dan pirimidin sama, nilai A260 -nya sudah pasti.
d.      Kemurnian asam nukleat
Tingkat kemurnian asam nukleat dapat diestimasi melalui penentuan nisbah A260 terhadap A280. Molekul dsDNA murni mempunyai nisbah  A260 /A280 sebesar 1,8. Sementara itu, RNA murni mempunyai nisbah  A260 /A280  sekitar 2,0.  Protein, dengan λmaks = 280 nm, tentu saja mempunyai nisbah A260 /A280  kurang dari 1,0.  Oleh karena itu, suatu sampel DNA yang memperlihatkan nilai A260 /A280 lebih dari 1,8 dikatakan terkontaminasi oleh RNA. Sebaliknya, suatu sampel DNA yang memperlihatkan nilai A260 /A280  kurang dari 1,8 dikatakan terkontaminasi oleh protein.
e.       Denaturasi termal dan renaturasi
Di atas telah disinggung bahwa beberapa senyawa kimia tertentu dapat menyebabkan terjadinya denaturasi asam nukleat. Ternyata, panas juga dapat menyebabkan denaturasi asam nukleat. Proses denaturasi ini dapat diikuti melalui pengamatan nilai absorbansi yang meningkat karena molekul rantai ganda (pada dsDNA dan sebagian daerah pada RNA) akan berubah menjadi molekul rantai tunggal. Denaturasi termal pada DNA dan RNA ternyata sangat berbeda. Pada RNA denaturasi berlangsung perlahan dan bersifat acak karena bagian rantai ganda yang pendek akan terdenaturasi lebih dahulu daripada bagian rantai ganda yang panjang. Tidaklah demikian halnya pada DNA. Denaturasi terjadi sangat cepat dan bersifat koperatif karena denaturasi pada kedua ujung molekul dan pada daerah kaya AT akan mendestabilisasi daerah-daerah di sekitarnya. Suhu ketika molekul asam nukleat mulai mengalami denaturasi dinamakan titik leleh atau melting temperature (Tm). Nilai Tm merupakan fungsi kandungan GC sampel DNA, dan berkisar dari 80 ºC hingga 100ºC untuk molekul-molekul DNA yang panjang. DNA yang mengalami denaturasi termal dapat dipulihkan (direnaturasi) dengan cara didinginkan. Renaturasi yang terjadi antara daerah komplementer dari dua rantai asam nukleat yang berbeda dinamakan hibridisasi.







B.  REPLIKA DNA

1.    Pengertian Teknologi DNA Rekombinan






Secara klasik analisis molekuler protein dan materi lainnya dari kebanyakan organisme ternyata sangat tidak mudah untuk dilakukan karena adanya kesulitan untuk memurnikannya dalam jumlah besar. Namun, sejak tahun 1970-an berkembang suatu teknologi yang dapat diterapkan sebagai pendekatan dalam mengatasi masalah tersebut melalui isolasi dan manipulasi terhadap gen yang bertanggung jawab atas ekspresi protein tertentu atau pembentukan suatu produk. Teknologi yang dikenal sebagai teknologi DNA rekombinan, atau dengan istilah yang lebih populer rekayasa genetika, ini melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu di dalam suatu sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan sebagai kloning gen. Teknologi DNA rekombinan mempunyai dua segi manfaat. Pertama, dengan mengisolasi dan mempelajari masing-masing gen akan diperoleh pengetahuan tentang fungsi dan mekanisme kontrolnya. Kedua, teknologi ini memungkinkan diperolehnya produk gen tertentu dalam waktu lebih cepat dan jumlah lebih besar daripada produksi secara konvensional. Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu produk yang diinginkan melalui teknologi DNA rekombinan melibatkan beberapa tahapan tertentu. Tahapan-tahapan tersebut adalah isolasi DNA genomik/kromosom yang akan diklon, pemotongan molekul DNA menjadi sejumlah fragmen dengan berbagai ukuran, isolasi DNA vektor, penyisipan fragmen DNA ke dalam vektor untuk menghasilkan molekul DNA rekombinan, transformasi sel inang menggunakan molekul DNA rekombinan, reisolasi molekul DNA rekombinan dari sel inang, dan analisis DNA rekombinan.

2.    Isolasi DNA

Isolasi DNA diawali dengan perusakan dan atau pembuangan dinding sel, yang dapat dilakukan baik dengan cara mekanis seperti sonikasi, tekanan tinggi, beku-leleh maupun dengan cara enzimatis seperti pemberian lisozim. Langkah berikutnya adalah lisis sel. Bahan-bahan sel yang relatif lunak dapat dengan mudah diresuspensi di dalam medium bufer nonosmotik, sedangkan bahan-bahan yang lebih kasar perlu diperlakukan dengan deterjen yang kuat seperti triton X-100 atau dengan sodium dodesil sulfat (SDS). Biasanya pembuangan remukan sel dilakukan dengan sentrifugasi. Protein yang tersisa dipresipitasi menggunakan fenol atau pelarut organik seperti kloroform untuk kemudian disentrifugasi dan dihancurkan secara enzimatis dengan proteinase. DNA yang telah dibersihkan dari protein dan remukan sel masih tercampur dengan RNA sehingga perlu ditambahkan RNAse untuk membersihkan DNA dari RNA. Molekul DNA yang telah diisolasi tersebut kemudian dimurnikan dengan penambahan amonium asetat dan alkohol atau dengan sentrifugasi kerapatan menggunakan CsCl







Skema tahapan kloning gen
Teknik isolasi DNA tersebut dapat diaplikasikan, baik untuk DNA genomik maupun DNA vektor, khususnya plasmid. Untuk memilih di antara kedua macam molekul DNA ini yang akan diisolasi dapat digunakan dua pendekatan. Pertama, plasmid pada umumnya berada dalam struktur tersier yang sangat kuat atau dikatakan mempunyai bentuk covalently closed circular (CCC), sedangkan DNA kromosom jauh lebih longgar ikatan kedua untainya dan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi. Perbedaan tersebut menyebabkan DNA plasmid jauh lebih tahan terhadap denaturasi apabila dibandingkan dengan DNA kromosom. Oleh karena itu, aplikasi kondisi denaturasi akan dapat memisahkan DNA plasmid dengan DNA kromosom.
Enzim Restriksi
Tahap kedua dalam kloning gen adalah pemotongan molekul DNA, baik genomik maupun plasmid. Perkembangan teknik pemotongan DNA berawal dari saat ditemukannya sistem restriksi dan modifikasi DNA pada bakteri E. coli, yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteriofag lambda (l). Virus l digunakan untuk menginfeksi dua strain E. coli, yakni strain K dan C.  Jika l yang telah menginfeksi strain C diisolasi dari strain tersebut dan kemudian digunakan untuk mereinfeksi strain C, maka akan diperoleh l progeni (keturunan) yang lebih kurang sama banyaknya dengan jumlah yang diperoleh dari infeksi pertama. Dalam hal ini, dikatakan bahwa efficiency of plating (EOP) dari strain C ke strain C adalah 1.  Namun, jika l yang diisolasi dari strain C digunakan untuk menginfeksi strain K, maka nilai EOP-nya hanya 10-4. Artinya, hanya ditemukan l progeni sebanyak 1/10.000 kali jumlah yang diinfeksikan. Sementara itu, l yang diisolasi dari strain K mempunyai nilai EOP sebesar 1, baik ketika direinfeksikan pada strain K maupun pada strain C. Hal ini terjadi karena adanya sistem restriksi/modifikasi (r/m) pada strain K. Pada waktu bakteriofag l yang diisolasi dari strain C diinfeksikan ke strain K, molekul DNAnya dirusak oleh enzim endonuklease restriksi yang terdapat di dalam strain K. Di sisi lain, untuk mencegah agar enzim ini tidak merusak DNAnya sendiri, strain K juga mempunyai sistem modifikasi yang akan menyebabkan metilasi beberapa basa pada sejumlah urutan tertentu yang merupakan tempat-tempat pengenalan (recognition sites) bagi enzim restriksi tersebut. Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan banyak dipelajari. Selanjutnya, enzim ini dimasukkan ke dalam suatu kelompok enzim yang dinamakan enzim restriksi tipe I.  Banyak enzim serupa yang ditemukan kemudian pada berbagai spesies bakteri lainnya.
Pada tahun 1970 T.J. Kelly menemukan enzim pertama yang kemudian dimasukkan ke dalam kelompok enzim restriksi lainnya, yaitu enzim restriksi tipe II. Ia mengisolasi enzim tersebut dari bakteri Haemophilus influenzae strain Rd, dan sejak saat itu ditemukan lebih dari 475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesies dan strain bakteri. Semuanya sekarang telah menjadi salah satu komponen utama dalam tata kerja rekayasa genetika.
Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai sifat-sifat umum yang penting sebagai berikut:
a.    mengenali urutan tertentu sepanjang empat hingga tujuh pasang basa di dalam molekul DNA
b.    memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di dekat tempat pengenalannya
c.    menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan urutan basa.
Pemberian nama kepada enzim restriksi mengikuti aturan sebagai berikut. Huruf pertama adalah huruf pertama nama genus bakteri sumber isolasi enzim, sedangkan huruf kedua dan ketiga masing-masing adalah huruf pertama dan kedua nama petunjuk spesies bakteri sumber tersebut. Huruf-huruf tambahan, jika ada, berasal dari nama strain bakteri, dan angka romawi digunakan untuk membedakan enzim yang berbeda tetapi diisolasi dari spesies yang sama.
3.    Ligasi Molekul – molekul DNA
Pemotongan DNA genomik dan DNA vektor menggunakan enzim restriksi harus menghasilkan ujung-ujung potongan yang kompatibel. Artinya, fragmen-fragmen DNA genomik nantinya harus dapat disambungkan (diligasi) dengan DNA vektor yang sudah berbentuk linier.
Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk meligasi fragmen-fragmen DNA secara in vitro. Pertama, ligasi menggunakan enzim DNA ligase dari bakteri. Kedua, ligasi menggunakan DNA ligase dari sel-sel E. coli yang telah diinfeksi dengan bakteriofag T4 atau lazim disebut sebagai enzim T4 ligase. Jika cara yang pertama hanya dapat digunakan untuk meligasi ujung-ujung lengket, cara yang kedua dapat digunakan baik pada ujung lengket maupun pada ujung tumpul. Sementara itu, cara yang ketiga telah disinggung di atas, yaitu pemberian enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’.
Suhu optimum bagi aktivitas DNA ligase sebenarnya 37ºC. Akan tetapi, pada suhu ini ikatan hidrogen yang secara alami terbentuk di antara ujung-ujung lengket akan menjadi tidak stabil dan kerusakan akibat panas akan terjadi pada tempat ikatan tersebut.  Oleh karena itu, ligasi biasanya dilakukan pada suhu antara 4 dan 15ºC dengan waktu inkubasi (reaksi) yang diperpanjang (sering kali hingga semalam).
4.    Transformasi Sel Inang
Tahap berikutnya setelah ligasi adalah analisis terhadap hasil pemotongan DNA genomik dan DNA vektor serta analisis hasil ligasi molekul-molekul DNA tersebut. menggunakan teknik elektroforesis (lihat Bab X). Jika hasil elektroforesis menunjukkan bahwa fragmen-fragmen DNA genomik telah terligasi dengan baik pada DNA vektor sehingga terbentuk molekul DNA rekombinan, campuran reaksi ligasi dimasukkan ke dalam sel inang agar dapat diperbanyak dengan cepat. Dengan sendirinya, di dalam campuran reaksi tersebut selain terdapat molekul DNA rekombinan, juga ada sejumlah fragmen DNA genomik dan DNA plasmid yang tidak terligasi satu sama lain. Tahap memasukkan campuran reaksi ligasi ke dalam sel inang ini dinamakan transformasi karena sel inang diharapkan akan mengalami perubahan sifat tertentu setelah dimasuki molekul DNA rekombinan.
Teknik transformasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 oleh M. Mandel dan A. Higa, yang melakukan transformasi bakteri E. coli. Sebelumnya, transformasi pada beberapa spesies bakteri lainnya yang mempunyai sistem transformasi alami seperti Bacillus subtilis telah dapat dilakukan. Kemampuan transformasi B. subtilis pada waktu itu telah dimanfaatkan untuk mengubah strain-strain auksotrof (tidak dapat tumbuh pada medium minimal) menjadi prototrof (dapat tumbuh pada medium minimal) dengan menggunakan preparasi DNA genomik utuh. Baru beberapa waktu kemudian transformasi dilakukan menggunakan perantara vektor, yang selanjutnya juga dikembangkan pada transformasi E.coli
Hal terpenting yang ditemukan oleh Mandel dan Higa adalah perlakuan kalsium klorid (CaCl2) yang memungkinkan sel-sel E. coli untuk mengambil DNA dari bakteriofag l. Pada tahun 1972 S.N. Cohen dan kawan-kawannya menemukan bahwa sel-sel yang diperlakukan dengan CaCl2 dapat juga mengambil DNA plasmid. Frekuensi transformasi tertinggi akan diperoleh jika sel bakteri dan DNA dicampur di dalam larutan CaCl2 pada suhu 0 hingga 5ºC. Perlakuan kejut panas antara 37 dan 45ºC selama lebih kurang satu menit yang diberikan setelah pencampuran DNA dengan larutan CaCl2 tersebut dapat meningkatkan frekuensi transformasi tetapi tidak terlalu esensial. Molekul DNA berukuran besar lebih rendah efisiensi transformasinya daripada molekul DNA kecil.


5.    Seleksi Transforman dan Seleksi Rekombinan
Oleh karena DNA yang dimasukkan ke dalam sel inang bukan hanya DNA rekombinan, maka kita harus melakukan seleksi untuk memilih sel inang transforman yang membawa DNA rekombinan. Selanjutnya, di antara sel-sel transforman yang membawa DNA rekombinan masih harus dilakukan seleksi untuk mendapatkan sel yang DNA rekombinannya membawa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan.
Cara seleksi sel transforman akan diuraikan lebih rinci pada penjelasan tentang plasmid (lihat Bab XI). Pada dasarnya ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi setelah transformasi dilakukan, yaitu (1) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau berarti transformasi gagal, (2) sel inang dimasuki vektor religasi atau berarti ligasi gagal, dan (3) sel inang dimasuki vektor rekombinan dengan/tanpa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan. Untuk membedakan antara kemungkinan pertama dan kedua dilihat perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang memperlihatkan dua sifat marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan kedualah yang terjadi. Selanjutnya, untuk membedakan antara kemungkinan kedua dan ketiga dilihat pula perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang hanya memperlihatkan salah satu sifat di antara kedua marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan ketigalah yang terjadi. Seleksi sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan dilakukan dengan mencari fragmen tersebut menggunakan fragmen pelacak (probe), yang pembuatannya dilakukan secara in vitro menggunakan teknik reaksi polimerisasi berantai atau polymerase chain reaction (PCR). Penjelasan lebih rinci tentang teknik PCR dapat dilihat pada Bab XII. Pelacakan fragmen yang diinginkan antara lain dapat dilakukan melalui cara yang dinamakan hibridisasi koloni (lihat Bab X). Koloni-koloni sel rekombinan ditransfer ke membran nilon, dilisis agar isi selnya keluar, dibersihkan protein dan remukan sel lainnya hingga tinggal tersisa DNAnya saja. Selanjutnya, dilakukan fiksasi DNA dan perendaman di dalam larutan pelacak. Posisi-posisi DNA yang terhibridisasi oleh fragmen pelacak dicocokkan dengan posisi koloni pada kultur awal (master plate). Dengan demikian, kita bisa menentukan koloni-koloni sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan
6.    Rekombinasi genetic Homologous memiliki Fungsi Ganda

Rekombinasi genetic homologous (juga disebut rekombinasi umum) dihubungkan secara kuat dengan divisi sel pada eikaryotik. Proses yang terjadi dlam frekuensi tinggi selama meiosis, proses yang mana sel germline dengan dua pasangan kromosom yang cocok (sel diploid) membagi untuk memproduksi satu set gamete—sel sperma atau ova pada eukaryotic yang lebih tinggi masing-masing gamete memiliki satu anggota untuk masing-masing pasangan kromosom (sel haploid) Setelah DNA direplikasi selama profase I (profase divisi meiotic pertama), hasil salinan DNA terasosiasi dengann sentromernya dan disebut sebagai kromatid saudar. Masing-masing set molekul DNA homologous disusun sebagai dua pasang kromatid. Informasi genetic ditukar antara kromatid genetic homologour terdekat pada tahap meiosis dengan alat rekombinasi genetic homologous. Proses ini melibatkan kerusakan dan penggabungan kembali DNA. Pertukaran juga disebut pindah silang dan dapat diamati secara sitologi. Pindah silang menghubungkan dua pasang kromatid saudara bersama-sama pada titik yang disebut chiasmata (tunggal, chiasma). Hal ini secara efektif menghubungkan keempat kromatid homologous bersama-sama, dan hubungan ini sangat esensial untuk segregasi kromosm yang tepat pada divisi sel meiotic berikutnya. Pendekatan awal, rekombinasi atau pindah silang dapat terjadi dengan kemungkinan yang sama pada hampir semua titik sepanjang kromosom homologous.

Tipe rekomendasi ini menyediankan setidak-tidaknya tiga fungsi yang bisa diidentifikasi :
a.    tipe rekombinasi ini berkontribusi terhadap perbedaan genetic pada populasi;
b.    pada eukariot menyediakan penghubung sementara antara kromatid yang secara nyata mengoreksi urutan segregasi pada kromosom ke selanang pada divisi sel meiotic pertama.
c.    berkontribusi untuk memperbaiki beberapa tipe kerusakan DNA.

7.    Rekombinasi Homolog merupakan jalur penting untuk perbaikan DNA
Rekombinasi menyediakan jalan untuk perbaikan DNA yang akurat ketika informasi susunan yang diperlukan tidak tersediadari strand yang berpasangan denga strand yang rusak. Untuk menghindari kerusakan kromosom dan memungkinkan perbaikan, daerah yang mengandung luka harus mendapatkan strand komplemeter. Jalur rekombinas imembuat penggunaan DNa homolog pada cabang lain dari cabang replikasi. Ketika luka dibuat menjadi bagian duplex kerusakan dapat berangsur-angsur diperbaiki. Perbaikan luka pad tipe ini telihat sebagai fungsi utama sistem rekombinasi homolog pada setiap sel.

C.  BIOSINTESIS PROTEIN DALAM SEL

Protein (akar kata protos dari bahasa Yunani yang berarti “yang paling utama”) adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan kadang sulfur serta fosfor. Protein merupakan salah satu bio-makromolekul yang penting perananya dalam makhluk hidup. Setiap sel dalam tubuh kita mengandung protein, termasuk kulit, tulang, otot, kuku, rambut, air liur, darah, hormon, dan enzim. Pada sebagian besar jaringan tubuh, protein merupakan komponen terbesar kedua setelah air. Diperkirakan 50% berat kering sel dalam jaringan hati dan daging terdiri dari protein. Sedangkan dalam tenunan daging segar sekitar 20%.

Tahap-tahap dalam sintesis protein, secara garis besar dibagi menjadi 2, yaitu transkripsi dan translasi. Baik transkripsi maupun translasi, masing-masing dibagi dibagi lagi menjadi 3 tahap, yaitu inisiasi, elongasi, dan terminasi.
 











1.      Transkripsi

Transkripsi merupakan sintesis RNA dari salah satu rantai DNA, yaitu rantai cetakan atau sense, sedangkan rantai komplemennya disebut rantai antisense. Rentangan DNA yang ditranskripsi menjadi molekul RNA disebut unit transkripsi. Informasi dari DNA untuk sintesis protein dibawa oleh mRNA. RNA dihasilkan dari aktifitas enzim RNA polimerase. Enzim polimerasi membuka pilinan kedua rantai DNA hingga terpisah dan merangkaikan nukleotida RNA. Enzim RNA polimerase merangkai nukleotida-nukleotida RNA dari arah 5’ ? 3’, saat terjadi perpasangan basa di sepanjang cetakan DNA. Urutan nukleotida spesifik di sepanjang cetakan DNA. Urutan nukleotida spesifik di sepanjang DNA menandai dimana transkripsi suatu gen dimulai dan diakhiri.
Transkripsi terdiri dari 3 tahap yaitu: inisiasi (permulaan), elongasi (pemanjangan), terminasi (pengakhiran) rantai mRNA. 






a.    Inisiasi
Daerah DNA di mana RNA polimerase melekat dan mengawali transkripsi disebut sebagai promoter. Suatu promoter menentukan di mana transkripsi dimulai, juga menentukan yang mana dari kedua untai heliks DNA yang digunakan sebagai cetakan. 

b.   Elongasi
Saat RNA bergerak di sepanjang DNA, RNA membuka pilinan heliks ganda DNA, sehingga terbentuklah molekul RNA yang akan lepas dari cetakan DNA-nya.

c.    Terminasi
Transkripsi berlangsung sampai RNA polimerase mentranskripsi urutan DNA yang disebut terminator. Terminator yang ditranskripsi merupakan suatu urutan RNA yang berfungsi sebagai sinyal terminasi yang sesungguhnya. Pada sel prokariotik, transkripsi biasanya berhenti tepat pada akhir sinyal terminasi; yaitu, polimerase mencapai titik terminasi sambil melepas RNA dan DNA. Sebaliknya, pada sel eukariotik polimerase terus melewati sinyal terminasi, suatu urutan AAUAAA di dalam mRNA. Pada titik yang lebih jauh kira-kira 10 hingga 35 nukleotida, mRNA ini dipotong hingga terlepas dari enzim tersebut.


2.      Translasi 

Dalam proses translasi, sel menginterpretasikan suatu pesan genetik dan membentuk protein yang sesuai. Pesan tersebut berupa serangkaian kodon di sepanjang molekul mRNA, interpreternya adalah RNA transfer. Setiap tipe molekul tRNA menghubungkan kodon tRNA tertentu dengan asam amino tertentu. Ketika tiba di ribosom, molekul tRNA membawa asam amino spesifik pada salah satu ujungnya. Pada ujung lainnya terdapat triplet nukleotida yang disebut antikodon, yang berdasarkan aturan pemasangan basa, mengikatkan diri pada kodon komplementer di mRNA. tRNA mentransfer asam amino-asam amino dari sitoplasma ke ribosom. 
 









Asosiasi kodon dan antikodon harus didahului oleh pelekatan yang benar antara tRNA dengan asam amino. tRNA yang mengikatkan diri pada kodon mRNA yang menentukan asam amino tertentu, harus membawa hanya asam amino tersebut ke ribosom. Tiap asam amino digabungkan dengan tRNA yang sesuai oleh suatu enzim spesifik yang disebut aminoasil-ARNt sintetase (aminoacyl-tRNA synthetase). 
Ribosom memudahkan pelekatan yang spesifik antara antikodon tRNA dengan kodon mRNA selama sintesis protein. Sub unit ribosom dibangun oleh protein-protein dan molekul-molekul RNA yang disebut RNA ribosomal

 











Translasi menjadi tiga tahap (sama seperti pada transkripsi) yaitu inisiasi, elongasi, dan terminasi. Semua tahapan ini memerlukan faktor-faktor protein yang membantu mRNA, tRNA, dan ribosom selama proses translasi. Inisiasi dan elongasi rantai polipeptida juga membutuhkan sejumlah energi. Energi ini disediakan oleh GTP (guanosin triphosphat), suatu molekul yang mirip dengan ATP.

a.    Inisiasi
Tahap inisiasi dari translasi terjadi dengan adanya mRNA, sebuah tRNA yang memuat asam amino pertama dari polipeptida, dan dua sub unit ribosom. Pertama, sub unit ribosom kecil mengikatkan diri pada mRNA dan tRNA inisiator khusus (lihat gambar). Sub unit ribosom kecil melekat pada tempat tertentu di ujung 5` dari mRNA. Pada arah ke bawah dari tempat pelekatan ribosom sub unit kecil pada mRNA terdapat kodon inisiasi AUG, yang membawa asam amino metionin, melekat pada kodon inisiasi. 




 











b.    Elongasi
Pada tahap elongasi dari translasi, asam amino – asam amino ditambahkan satu per satu pada asam amino pertama (metionin). Lihat Gambar. Kodon mRNA pada ribosom membentuk ikatan hidrogen dengan antikodon molekul tRNA yang baru masuk yang membawa asam amino yang tepat. Molekul rRNA dari sub unit ribosom besar berfungsi sebagai enzim, yaitu mengkatalisis pembentukan ikatan peptida yang menggabungkan polipeptida yang memanjang ke asam amino yang baru tiba. 

c.    Terminasi
Tahap akhir translasi adalah terminasi (gambar). Elongasi berlanjut hingga kodon stop mencapai ribosom. Triplet basa kodon stop adalah UAA, UAG, dan UGA. Kodon stop tidak mengkode suatu asam amino melainkan bertindak sebagai sinyal untuk menghentikan translasi. 

DAFTAR PUSTAKA


 

No comments:

Post a Comment