Tuesday, 22 May 2012

Askep hidrosefalus

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hidrosefalus adalah penumpukan CSS sehingga menekan jaringan otak. Jumlah cairan bisa mencapai 1,5 liter bahkan ada sampai 5 liter, sehingga tekanan intrakranial sangat tinggi. Hidrosefalus sering di jumpai sebagai kelainan konginetal namun bisa pula oleh sebab postnatal. Angka kejadian hidrosefalus kira-kira 30 % yang di temui sejak lahir, dan 50% pada 3 bulan pertama. Frekuensi hidrosefalus ini utero 2:2000 bayi, dan kira-kira 12% dari semua kelainan konginetal. Hidrosefalus sering menyebabkan distosia persalinan. Apabila hidrosefalus berlanjut setelah lahir dan tetap hidup akan menjadi masalah pediatri sosial.         
 Pasien hidrosefalus memerlukan perawatan khusus dan benar karena pada anak yang mengalami hidrosefalus ada kerusakan saraf yang menimbulkan kelainan neurologis berupa gangguan kesadaran sampai pada gangguan pusat vital dan resiko terjadi dekubitus.
Mahasiswa keperawatan perlu mempelajari cara mencegah dan menanggulangi masalah hidrosefalus dengan student center learning berupa pembuatan makalah dan diskusi antar teman di kelas.
B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana konsep tentang hidrosefalus ?
2.    Bagimana asuhan keperawatan Hydrocephalus ?


C.    Tujuan Penulisan
1.    Tujuan Umum
Memahami konsep dan memberikan asuhan keperwatan pada klien dengan Hydrocephalus.
2.    Tujuan Khusus
a.    Mahasiswa dapat menjelaskan tentang definisi Hydrocephalus
b.    Mahasiswa dapat menjelaskan tentang epidemiologi dari hidrosefalus
c.    Mahasiswa dapat menjelaskan tentang etiologi Hydrocephalus
d.    Mahasiswa dapat menjelaskan tentang klasifikasi Hydrocephalus
e.    Mahasiswa dapat menjelaskan tentang patofisiologi dan pathogenesis Hydrocephalus
f.    Mahasiswa dapat menjelaskan tentang manifestasi Klinis Hydrocephalus
g.    Mahasiswa dapat menjelaskan tentang pemeriksaan Diagnostik Hydrocephalus
h.    Mahasiswa dapat menjelaskan tentang penatalaksanaan Hydrocephalus
i.    Mahasiswa dapat menjelaskan tentang komplikasi hidrosefalus
j.    Mahasiwa dapat menjelaskan tentang prognosis hidrosefalus
k.    Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Web of Cause Hydrocephalus
l.    Mahasiswa dapat menjelaskan tentang asuhan keperawatan Hydrocephalus
D.    Manfaat Penulisan
Memahami konsep dan memberikan asuhan keperwatan pada klien dengan Hydrocephalus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Definisi
Hidrosefalus (kepala-air, istilah yang berasal dari bahasa Yunani: "hydro" yang berarti air dan "cephalus" yang berarti kepala; sehingga kondisi ini sering dikenal dengan "kepala air") adalah penyakit yang terjadi akibat gangguan aliran cairan di dalam otak (cairan serebro spinal atau CSS). Gangguan itu menyebabkan cairan tersebut bertambah banyak yang selanjutnya akan menekan jaringan otak di sekitarnya, khususnya pusat-pusat saraf yang vital.
Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis, disebabkan baik oleh produksi yang berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai tekanan intrakanial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran ruangan-ruangan tempat aliran cairan serebrospinalis (Darto Suharso,2009)
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono, 2005:209). Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (DeVito EE et al, 2007:328).
Hidrocephalus adalah: suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan cerebrospinal (CSS) dengan atau pernah dengan tekanan intra kranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengalirnya CSS (Ngastiyah,2005).
Hidrocepalus adalah akumulasi cairan serebrospinal dalam ventrikel cerebral, ruang subarachnoid, atau ruang subdural (Suriadi,2006)
Hidrocephalus adalah sebuah kondisi yang disebabkan oleh produksi yang tidak seimbang dan penyerapan dari cairan cerebrospinal (CSS) di dalam sistem Ventricular. Ketika produksi CSS lebih besar dari penyerapan, cairan cerebrospinal mengakumulasi di dalam sistem Ventricular (nining,2008).

B.    Epidemiologi
Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000 kelahiran dan 11%-43% disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis. Hidrosefalus infantil; 46% adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior (Darsono, 2005:211).

C.    Etiologi
Cairan Serebrospinal merupakan cairan jernih yang diproduksi dalam ventrikulus otak oleh pleksus koroideus, Cairan ini mengalir dalam ruang subaraknoid yang membungkus otak dan medula spinalis untuk memberikan perlindungan serta nutrisi(Cristine Brooker:The Nurse’s Pocket Dictionary). CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus khoroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam piamater dan arakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan likuor serebrospinalis terdapat dalam suatu sistem, yakni sistem internal dan sistem eksternal. Pada orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan prematur kecil 10-20 ml. Cairan yang tertimbun dalam ventrikel 500-1500 ml (Darsono, 2005).
Aliran CSS normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen monroe ke ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit akuaduktus Sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan Magendie ke dalam ruang subarakhnoid melalui sisterna magna. Penutupan sisterna basalis menyebabkan gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh sistem kapiler. (DeVito EE et al, 2007:32)
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal (CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Allan H. Ropper, 2005). Teoritis pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang abnormal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak ialah : 
1)   Kelainan Bawaan (Kongenital)
1.    Stenosis akuaduktus Sylvii merupakan penyebab terbayank pada hidrosefalus bayi dan anak ( 60-90%). Aqueduktus dapat merupakan saluran yang buntu sama sekali atau abnormal, yaitu lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala hidrosefalus terlihat sejak lahit atau progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah kelahiran.
2.    Spina bifida dan kranium bifida
Hidrosefalus pada kelainan ini biasanya yang berhubungan dengan sindrom Arnould-Jhiari akibat tertariknya medulla spinalis dengan medulla oblongata dan cerebellum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian atau total.
1.    Sindrom Dandy-Walker
Merupakan atresia congenital Luscha dan Magendie yang menyebabkan hidrosefalus obtruktif dengan pelebaran system ventrikel terutama ventrikel IV, yang dapat sedemikian besarnya sehingga merupakan suatu kista yang besar di daerah fosa pascaerior.
2.    Kista araknoid dan anomali pembuluh darah
Dapat terjadi congenital tapi dapat juga timbul akibat trauma sekunder suatu hematoma.
3.    Anomali Pembuluh Darah 
2)   Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat terjadi obliterasi ruangan subarahnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat pirulen di aqueduktus sylviin atau system basalis. Hidrosefalus banyak terjadi pada klien pasca meningitis. Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitis. Secara patologis terlihat pelebaran jaringan piamater dan arahnoid sekitar system basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar sistem kiasmatika dan interpendunkularis, sedangkan pada meningitis purunlenta lokasisasinya lebih tersebar.
3)   Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS. Pengobatannya dalam hal ini di tujukan kepada penyebabnya dan apabila tumor tidak di angkat, maka dapat di lakukan tindakan paliatif dengan mengalihkan CSS melalui saluran buatan atau pirau. Pada anak, penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum, penyumbatan bagian depan ventrikel III disebabkan kraniofaringioma.
4)   Perdarahan
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri (Allan H. Ropper, 2005:360).

D.    Klasifikasi
Klasifikasi hidrosefalus bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya, berdasarkan :
1.    Gambaran klinis, dikenal hidrosefalus manifes (overt hydrocephalus) dan hidrosefalus tersembunyi (occult hydrocephalus).
2.    Waktu pembentukan, dikenal hidrosefalus kongenital dan hidrosefalus akuisita.
3.    Proses terbentuknya, dikenal hidrosefalus akut dan hidrosefalus kronik.
4.    Sirkulasi CSS, dikenal hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus non komunikans.
Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel, hidrosefalus eksternal menunjukkan adanya pelebaran rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus obstruktif menjabarkan kasus yang mengalami obstruksi pada aliran likuor. Berdasarkan gejala, dibagi menjadi hidrosefalus simptomatik dan asimptomatik. Hidrosefalus arrested menunjukan keadaan dimana faktor-faktor yang menyebabkan dilatasi ventrikel pada saat tersebut sudah tidak aktif lagi. Hidrosefalus ex-vacuo adalah sebutan bagi kasus ventrikulomegali yang diakibatkan atrofi otak primer, yang biasanya terdapat pada orang tua. (Darsono, 2005)
Hidrosephalus pada anak atau bayi pada dasarnya dapat di bagi dua:
1.    Kongenital
Merupakan Hidrosephalus yang sudah diderita sejak bayi dilahirkan, sehingga :
•    Pada saat lahir keadaan otak bayi terbentuk kecil.
•    Terdesak oleh banyaknya cairan didalam kepala dan tingginya tekanan intrakranial sehingga pertumbuhan sel otak terganggu.

2.    Didapat
Bayi atau anak mengalaminya pada saat sudah besar, dengan penyebabnya adalah penyakit-penyakit tertentu misalnya trauma, TBC yang menyerang otak dimana pengobatannya tidak tuntas.
Pada hidrosefalus di dapat pertumbuhan otak sudah sempurna, tetapi kemudian terganggu oleh sebab adanya peninggian tekanan intrakranial.Sehingga perbedaan hidrosefalus kongenital dengan di dapat terletak pada pembentukan otak dan pembentukan otak dan kemungkinan prognosanya.

Berdasarkan letak obstruksi CSS ( Cairan Serbrospinal ) hidrosefalus pada bayi dan anak ini juga terbagi dalam dua bagian yaitu :

1.    Hydrocephalus komunikan
Apabila obstruksinya terdapat pada rongga subaracnoid, sehingga terdapat aliran bebas CSS dalam sistem ventrikel sampai ke tempat sumbatan. Jenis ini tidak terdapat obstruksi pada aliran CSS tetapi villus arachnoid untuk mengabsorbsi CSS terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit atau malfungsional. Umumnya terdapat pada orang dewasa, biasanya disebabkan karena dipenuhinya villus arachnoid dengan darah sesudah terjadinya hemmorhage subarachnoid (klien memperkembangkan tanda dan gejala – gejala peningkatan ICP).
Jenis ini tidak terdapat obstruksi pada aliran CSS tetapi villus arachnoid untuk mengabsorbsi CSS terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit atau malfungsional. Umumnya terdapat pada orang dewasa, biasanya disebabkan karena dipenuhinya villus arachnoid dengan darah sesudah terjadinya hemmorhage subarachnoid (klien memperkembangkan tanda dan gejala – gejala peningkatan ICP)
2.    Hydrocephalus non komunikan
Apabila obstruksinya terdapat terdapat didalam sistem ventrikel sehingga menghambat aliran bebas dari CSS. Biasanya gangguan yang terjadi pada hidrosefalus kongenital adalah pada sistem vertikal sehingga terjadi bentuk hidrosefalus non komunikan.
Biasanya diakibatkan obstruksi dalam sistem ventrikuler yang mencegah bersikulasinya CSS. Kondisi tersebut sering dijumpai pada orang lanjut usia yang berhubungan dengan malformasi congenital pada system saraf pusat atau diperoleh dari lesi (space occuping lesion) ataupun bekas luka. Pada klien dewasa dapat terjadi sebagai akibat dari obstruksi lesi pada sistem ventricular atau bentukan jaringan adhesi atau bekas luka didalam system di dalam system ventricular. Pada klien dengan garis sutura yang berfungsi atau pada anak–anak dibawah usia 12–18 bulan dengan tekanan intraranialnya tinggi mencapai ekstrim, tanda–tanda dan gejala–gejala kenaikan ICP dapat dikenali. Pada anak-anak yang garis suturanya tidak bergabung terdapat pemisahan / separasi garis sutura dan pembesaran kepala.
3.    Hidrocephalus Bertekan Normal ( Normal Pressure Hidrocephalus )
Di tandai pembesaran sister basilar dan fentrikel disertai dengan kompresi jaringan serebral, dapat terjadi atrofi serebral. Tekanan intrakranial biasanya normal, gejala – gejala dan tanda – tanda lainnya meliputi ; dimentia, ataxic gait, incontinentia urine. Kelainan ini berhubungan dengan cedera kepala, hemmorhage serebral atau thrombosis, mengitis; pada beberapa kasus (Kelompok umur 60 – 70 tahun) ada kemingkinan ditemukan hubungan tersebut.

E.    Patofisiologi dan Patogenesis
Dikarenakan kondisi CSS yang tidak normal hidrosefalus secara teoritis terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu:
1.    Produksi likuor yang berlebihan
2.    Peningkatan resistensi aliran likuor
3.    Peningkatan tekanan sinus venosa

Konsekuensi tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan intrakranial(TIK) sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari :
1.    Kompresi sistem serebrovaskuler.
2.    Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler
3.    Perubahan mekanis dari otak.
4.    Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis
5.    Hilangnya jaringan otak.
6.    Pembesaran volume tengkorak karena regangan abnormal sutura kranial.
Produksi likuor yang berlebihan disebabkan tumor pleksus khoroid. Gangguan aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan gangguan aliran akan meningkatkan tekanan likuor secara proporsional dalam upaya mempertahankan resorbsi yang seimbang.
Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif tinggi. Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians tengkorak. (Darsono, 2005:212)

F.    Manifestasi Klinis
Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada derajat ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Darsono, 2005). Gejala-gejala yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial. Manifestasi klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu :
1.     Hidrosefalus terjadi pada masa neonatus
Meliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap hidrosefalus kongenital dan pada masa bayi. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama kehidupan. Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah frontal. Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala tampak melebar dan berkelok. (Peter Paul Rickham, 2003).
2.    Hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak
Pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai manifestasi hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas. Dapat disertai keluhan penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus. Secara umum gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia dua tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrania mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal.

Makrokrania biasanya disertai empat gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu:
1.    Fontanel anterior yang sangat tegang.
2.    Sutura kranium tampak atau teraba melebar.
3.    Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial menonjol.
4.    Fenomena ‘matahari tenggelam’ (sunset phenomenon).
Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah, gangguan kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus yang telah lanjut ada gejala gangguan batang otak akibat herniasi tonsiler (bradikardia, aritmia respirasi). (Darsono, 2005:213)

Kepala bisa berukuran normal dengan fontanela anterior menonjol, lama kelamaan menjadi besar dan mengeras menjadi bentuk yang karakteristik oleh peningkatan dimensi ventrikel lateral dan anterior – posterior diatas proporsi ukuran wajah dan bandan bayi. Puncak orbital tertekan ke bawah dan mata terletak agak kebawah dan keluar dengan penonjolan putih mata yang tidak biasanya. Tampak adanya dsitensi vena superfisialis dan kulit kepala menjadi tipis serta rapuh.Uji radiologis : terlihat tengkorak mengalami penipisan dengan sutura yang terpisah – pisah dan pelebaran vontanela. Ventirkulogram menunjukkan pembesaran pada sistim ventrikel . CT scan dapat menggambarkan sistim ventrikuler dengan penebalan jaringan dan adnya massa pada ruangan Occuptional. Pada bayi terlihat lemah dan diam tanpa aktivitas normal. Proses ini pada tipe communicating dapat tertahan secara spontan atau dapat terus dengan menyebabkan atrofi optik, spasme ekstremitas, konvulsi, malnutrisi dan kematian, jika anak hidup maka akan terjadi retardasi mental dan fisik.

     Bayi :
1.    Kepala menjadi makin besar dan akan terlihat pada umur 3 tahun.
2.    Keterlambatan penutupan fontanela anterior, sehingga fontanela menjadi tegang, keras, sedikit tinggi dari permukaan tengkorak.
3.    Tanda – tanda peningkatan tekanan intracranial antara lain :
4.    Muntah
5.    Gelisah
6.    Menangis dengan suara ringgi
7.    Peningkatan sistole pada tekanan darah, penurunan nadi, peningkatan pernafasan dan tidak teratur, perubahan pupil, lethargi – stupor.
a.    Peningkatan tonus otot ekstrimitas
b.    Dahi menonjol bersinar atau mengkilat dan pembuluh-pembuluh darah terlihat jelas.
c.    Alis mata dan bulu mata ke atas, sehingga sclera telihat seolah-olah di atas Iris
d.    Bayi tidak dapat melihat ke atas, “sunset eyes”
e.    Strabismus, nystagmus, atropi optic
f.    Bayi sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas.

    Anak yang telah menutup suturanya :
Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial :
1.    Nyeri kepala
2.    Muntah
3.    Lethargi, lelah, apatis, perubahan personalitas
4.    Ketegangan dari sutura cranial dapat terlihat pada anak berumur 10 tahun
5.    Penglihatan ganda, kontruksi penglihatan perifer
6.    Strabismus
7.    Perubahan pupil

G.    Pemeriksaan diagnostik
Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil pemeriksaan fisik dan psikis, untuk keperluan diagnostik hidrosefalus dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yaitu :
1)   Rontgen foto kepala

Dengan prosedur ini dapat diketahui:
1.    Hidrosefalus tipe kongenital/infantile, yaitu: ukuran kepala, adanya pelebaran sutura, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial kronik berupa imopressio digitate dan erosi prosessus klionidalis posterior.
2.    Hidrosefalus tipe juvenile/adult oleh karena sutura telah menutup maka dari foto rontgen kepala diharapkan adanya gambaran kenaikan tekanan intrakranial.

2)   Transimulasi
Syarat untuk transimulasi adalah fontanela masih terbuka, pemeriksaan ini dilakukan dalam ruangan yang gelap setelah pemeriksa beradaptasi selama 3 menit. Alat yang dipakai lampu senter yang dilengkapi dengan rubber adaptor. Pada hidrosefalus, lebar halo dari tepi sinar akan terlihat lebih lebar 1-2 cm.

       3)  Lingkaran kepala
Diagnosis hidrosefalus pada bayi dapat dicurigai, jika penambahan lingkar kepala melampaui satu atau lebih garis-garis kisi pada chart (jarak antara dua garis kisi 1 cm) dalam kurun waktu 2-4 minggu. Pada anak yang besar lingkaran kepala dapat normal hal ini disebabkan oleh karena hidrosefalus terjadi setelah penutupan suturan secara fungsional.
Tetapi jika hidrosefalus telah ada sebelum penutupan suturan kranialis maka penutupan sutura tidak akan terjadi secara menyeluruh.

     4)   Ventrikulografi
Yaitu dengan memasukkan konras berupa O2 murni atau kontras lainnya dengan alat tertentu menembus melalui fontanela anterior langsung masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung difoto, maka akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak yang besar karena fontanela telah menutup untuk memasukkan kontras dibuatkan lubang dengan bor pada kranium bagian frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini sangat sulit, dan mempunyai risiko yang tinggi. Di rumah sakit yang telah memiliki fasilitas CT Scan, prosedur ini telah ditinggalkan.

      5)  Ultrasonografi
Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan USG diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel yang melebar. Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus ternyata tidak mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal ini disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi sistem ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT Scan.

      6)   CT Scan kepala
Pada hidrosefalus obstruktif CT Scan sering menunjukkan adanya pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel IV sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas oleh karena terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS.
Pada hidrosefalus komunikans gambaran CT Scan menunjukkan dilatasi ringan dari semua sistem ventrikel termasuk ruang subarakhnoid di proksimal dari daerah sumbatan.

     7)   MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Untuk mengetahui kondisi patologis otak dan medula spinalis dengan menggunakan teknik scaning dengan kekuatan magnet untuk membuat bayangan struktur tubuh.

H.    Penatalaksanaan
Penanganan hidrocefalus masuk pada katagori ”live saving and live sustaining” yang berarti penyakit ini memerlukan diagnosis dini yang dilanjutkan dengan tindakan bedah secepatnya. Keterlambatan akan menyebabkan kecacatan dan kematian sehingga prinsip pengobatan hidrocefalus harus dipenuhi yakni:
1.    Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak pleksus koroidalis dengan tindakan reseksi atau pembedahan, atau dengan obat azetasolamid (diamox) yang menghambat pembentukan cairan serebrospinal.
2.    Memperbaiki hubungan antara tempat produksi caira serebrospinal dengan tempat absorbsi, yaitu menghubungkan ventrikel dengan subarachnoid
3.    Pengeluaran cairan serebrospinal ke dalam organ ekstrakranial, yakni:
a.    Drainase ventrikule-peritoneal
b.    Drainase Lombo-Peritoneal
c.    Drainase ventrikulo-Pleural
d.    Drainase ventrikule-Uretrostomi
e.    Drainase ke dalam anterium mastoid
f.    Mengalirkan cairan serebrospinal ke dalam vena jugularis dan jantung melalui kateter yang berventil (Holter Valve/katup Holter) yang memungkinkan pengaliran cairan serebrospinal ke satu arah. Cara ini merupakan cara yang dianggap terbaik namun, kateter harus diganti sesuai dengan pertumbuhan anak dan harus diwaspadai terjadinya infeksi sekunder dan sepsis.
g.    Tindakan bedah pemasangan selang pintasan atau drainase dilakukan setelah diagnosis lengkap dan pasien telah di bius total. Dibuat sayatan kecil di daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput otak, lalu selang pintasan dipasang. Disusul kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut, dibuka rongga perut lalu ditanam selang pintasan, antara ujung selang di kepala dan perut dihubiungakan dengan selang yang ditanam di bawah kulit hingga tidak terlihat dari luar.
h.    Pengobatan modern atau canggih dilakukan dengan bahan shunt atau pintasan jenis silicon yang awet, lentur, tidak mudah putus.
Ada 2 macam terapi pintas / “ shunting “:
1.    Eksternal
CSS dialirkan dari ventrikel ke dunia luar, dan bersifat hanya sementara. Misalnya: pungsi lumbal yang berulang-ulang untuk terapi hidrosefalus tekanan normal.
2.    Internal
1)   CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota tubuh lain :
•    Ventrikulo-Sisternal, CSS dialirkan ke sisterna magna (Thor-Kjeldsen)
•    Ventrikulo-Atrial, CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior
•    Ventrikulo-Bronkhial, CSS dialirkan ke Bronhus.
•    Ventrikulo-Mediastinal, CSS dialirkan ke mediastinum
•    Ventrikulo-Peritoneal, CSS dialirkan ke rongga peritoneum.

2)   “Lumbo Peritoneal Shunt”
CSS dialirkan dari Resessus Spinalis Lumbalis ke rongga peritoneum dengan operasi terbuka atau dengan jarum Touhy secara perkutan.
Teknik Shunting:
1.    Sebuah kateter ventrikular dimasukkan melalui kornu oksipitalis atau kornu frontalis, ujungnya ditempatkan setinggi foramen Monroe.
2.    Suatu reservoir yang memungkinkan aspirasi dari CSS untuk dilakukan analisis.
3.    Sebuah katup yang terdapat dalam sistem Shunting ini, baik yang terletak proksimal dengan tipe bola atau diafragma (Hakim, Pudenz, Pitz, Holter) maupun yang terletak di distal dengan katup berbentuk celah (Pudenz). Katup akan membuka pada tekanan yang berkisar antara 5-150 mm, H2O.
4.    Ventriculo-Atrial Shunt. Ujung distal kateter dimasukkan ke dalam atrium kanan jantung melalui v. jugularis interna (dengan thorax x-ray ujung distal setinggi 6/7).
5.    Ventriculo-Peritneal Shunt
a.    Slang silastik ditanam dalam lapisan subkutan
b.    Ujung distal kateter ditempatkan dalam ruang peritoneum.
Pada anak-anak dengan kumparan silang yang banyak, memungkinkan tidak diperlukan adanya revisi walaupun badan anak tumbuh memanjang.
Komplikasi yang sering terjadi pada shunting: infeksi, hematom subdural, obstruksi, keadaan CSS yang rendah, ascites akibat CSS, kraniosinostosis.

I.    Komplikasi
Komplikasi sering terjadi karena pemasangan VP shunt adalah infeksi dan malfungsi. Malfungsi disebakan oleh obstruksi mekanik atau perpindahan didalam ventrikel dari bahan – bahan khusus ( jaringan /eksudat  ) atau ujung distal dari thrombosis sebagai akibat dari pertumbuhan. Obstruksi VP shunt sering menunjukan kegawatan dengan manifestasi klinis peningkatan TIK yang lebih sering diikuti dengan status neurologis buruk.
Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi VP shunt. Infeksi umumnya akibat dari infeksi pada saat pemasangan VP shunt. Infeksi itu meliputi septik, Endokarditis bacterial, infeksi luka, Nefritis shunt, meningitis, dan ventrikulitis. Komplikasi VP shunt yang serius lainnya adalah subdural hematoma yang di sebabkan oleh reduksi yang cepat pada tekanan ntrakranial dan ukurannya. Komplikasi yang dapat terjadi adalah peritonitis abses abdominal, perforasi organ-organ abdomen oleh kateter atau trokar (pada saat pemasangan), fistula hernia, dan ilius.

J.    Prognosis
Keberhasilan tindakan operatif serta prognosis hidrosefalus ditentukan ada atau tidaknya anomali yang menyertai, mempunyai prognosis lebih baik dari hidrosefalus yang bersama dengan malformasi lain (hidrosefalus komplikata). Prognosis hidrosefalus infatil mengalami perbaikan bermakna namun tidak dramatis dengan temuan operasi pisau. Jika tidak dioperasi 50-60% bayi akan meniggal karena hidrosefalus sendiri ataupun penyakit penyerta. Skitar 40% bayi yang bertahan memiliki kecerdasan hampir normal. Dengan bedah saraf dan penatalaksanaan medis yang baik, sekitar 70% diharap dapat melampaui masa bayi, sekitar 40% dengan intelek normal, dan sektar 60% dengan cacat intelek dan motorik bermakna. Prognosis bayi hidrosefalus dengan meningomilokel lebih buruk.

Hidrosefalus yang tidak diterapi akan menimbulkan gejala sisa, gangguan neurologis serta kecerdasan. Dari kelompok yang tidak diterapi, 50-70% akan meninggal karena penyakitnya sendiri atau akibat infeksi berulang, atau oleh karena aspirasi pneumonia. Namun bila prosesnya berhenti (arrested hidrosefalus) sekitar 40% anak akan mencapai kecerdasan yang normal (Allan H. Ropper, 2005).
Pada kelompok yang dioperasi, angka kematian adalah 7%. Setelah operasi sekitar 51% kasus mencapai fungsi normal dan sekitar 16% mengalami retardasi mental ringan. Adalah penting sekali anak hidrosefalus mendapat tindak lanjut jangka panjang dengan kelompok multidisipliner. (Darsono, 2005)



BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian

1.    Anamnesa 
a.    Pengumpulan data : nama, usia, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat 
b.    Riwayat Penyakit / keluhan utama : Muntah, gelisah, nyeri kepala, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil, kontriksi penglihatan perifer.
c.    Riwayat Penyakit dahulu 
1)     Antrenatal : Perdarahan ketika hamil 
2)    Natal : Perdarahan pada saat melahirkan, trauma sewaktu lahir
3)    Postnatal : Infeksi, meningitis, TBC, neoplasma
a)    Riwayat penyakit keluarga
b)    Pengkajian persistem
•    B1 ( Breath )   : Dispnea, ronchi, peningkatan frekuensi napas
•    B2 ( Blood )    : Pucat, peningkatan systole tekanan darah, penurunan nadi
•    B3 ( Brain )     : Sakit kepala, gangguan kesadaran, dahi menonjol dan  mengkilat, pembesaran kepala, perubahan pupil, penglihatan ganda, kontruksi penglihatan perifer, strabismus ( juling ), tidak dapat melihat keatas “ sunset eyes ”, kejang
•    B4 ( Bladder ) : Oliguria
•    B5 ( Bowel )   : Mual, muntah, malas makan
•    B6 ( Bone )     : Kelemahan, lelah, peningkatan tonus otot ekstrimitas
Observasi tanda – tanda vital  
•    Peningkatan systole tekanan darah
•    Penurunan nadi / bradikardia
•    Peningkatan frekuensi pernapasan



BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hidrocephalus adalah: suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan cerebrospinal (CSS) dengan atau pernah dengan tekanan intra kranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengalirnya CSS.
Merupakan sindroma klinis yang dicirikan dengan dilatasi yang progresif pada sistem ventrikuler cerebral dan kompresi gabungan dari jaringan – jaringan serebral selama produksi CSF berlangsung yang meningkatkan kecepatan absorbsi oleh vili arachnoid. Akibat berlebihannya cairan serebrospinalis dan meningkatnya tekanan intrakranial menyebabkan terjadinya peleburan ruang – ruang tempat mengalirnya liquor. Berdasarkan letak obstruksi CSF hidrosefalus pada bayi dan anak ini juga terbagi dalam dua bagian yaitu :
Hidrochepalus komunikan
Hidrochepalus non-komunikan
Hidrochepalus bertekanan normal
Insidens hidrosefalus pada anak-anak belum dapat ditentukan secara pasti dan kemungkinan hai ini terpengaruh situasi penanganan kesehatan pada masing-masing rumah sakit.
B.    Saran
Tindakan alternatif selain operasi diterapkan khususnya bagi kasus-kasus yang yang mengalami sumbatan didalam sistem ventrikel. Dalam hal ini maka tindakan terapeutik semacan ini perlu.



Daftar Pustaka

Anonymuous, 2010. http://ms32.multiply.com/journal/item/23. Diakses tanggal 24 Maret 2012
Anonymuous, 2010.http://Asuhan keperawatan pada klien ”HIDROSEFALUS” Blog Penuh Cinta.htm. Diakses tanggal 24 Maret 2012
Ropper, Allan H. And Robert H. Brown. 2005. Adams And Victor’s Principles Of Neurology: Eight Edition. USA.
http://www.4shared.com/get/Ecx0dGJ3/askep_hidrosefalus.html diakses tanggal 24 Maret 2012
Anonymous,2010.http://idmgarut.wordpress.com/2009/02/02/hidrosefalus/. Diakses tanggal 24 Maret 2012
Anonymuous ,2010 .http://putrisayangbunda.blog.com/2009/11/30/asuhan-keperawatan-pada-klien-hidrosefalus-2/.tanggal akses tanggal 24 Maret 2012
Anonymuous 2010. http://hesa-andessa.blogspot.com/2010/08/asuhan-keperawatan-anak-dengan.html tanggal akses tanggal 24 Maret 2012

asuhan keperawatan anak dengan difteri

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah padat penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

B.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
1. Tujuan Umum
a) Untuk memenuhi tugas Mata Ajar Keperawatan Kesehatan Anak II
b) Diperoleh pengalaman dalam membuat Asuhan Keperawatan Anak   dengan Difteri
2. Tujuan Khusus

a) Mampu melakukan pengkajian pada anak dengan Difteri
b) Mampu menentukan masalah keperawatan pada klien anak dengan Difteri
c) Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada anak dengan Difteri
d) Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien anak dengan Difteri
e) Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada anak dengan Difteri

C.    Ruang Lingkup

Dalam penyusuna makalah ini penulis hanya membatasi masalah mengenai Asuhan Keperawatan pada anak dengan Difteri.

D.    Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriftif, yaitu dengan mengumpulkan data, menganalisis dan menarik suatu kesimpulan, dan studi kepustakaan dengan mempelajari buku-buku, dikatat dan sumber ilmiah lain yang berhubungan dengan judul dan permasalahan dalam karya tulis ini.

E.    Sistematika Penulisan

Makalah ini terjadi dari 4 bab yang disusun secara sistematika dengan urutan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari Latar belakang, Tujuan, Ruang lingkup, Metode penulisan, dan sitematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Teoritis yang meliputi pengertian, patofisiologi (yang terdiri dari etiolagi, pejalanan penyakit, manifestasi klinis, komplikasi), dan penatalaksanaan.
BAB III : Asuhan Keperawatan yang terdiri dari Pengkajian keperawatan, Diagnosa keperawatan,Perencanaan keperawatan, Pelaksanaan keperawatan, Evaluasi keperawatan.
BAB IV : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Definisi
 Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (FKUI: 2007)
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium ulcerans, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini. (Acang: 2008)
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa. (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008)
Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).
Difteri adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari Corynebacterium diphtheriae (C. diphtheriae). Penyakit ini menyerang bagian atas mukosa saluran pernapasan dan kulit yang terluka. Tanda-tanda yang dapat dirasakan ialah sakit tekak dan demam secara tiba-tiba disertai tumbuhnya membran kelabu yang menutupi tonsil serta bagian saluran pernapasan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Difteri)
 Klasifikasi Difteri
Berdasar berat ringannya penyakit diajukan Beach (1950):
1.     Infeksi ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan
2.    Infeksi sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif
3.    Infeksi berat
•    Ada sumbatan jalan nafas, hanya dapat diatasi dengan trakeostomi
•    Dapat disertai gejala komplikasi miokarditis, paralisis/ nefritis 
Berdasarkan letaknya, digolongkan sebagai berikut:
Difteria Tonsil Faring (fausial)
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi limfadetis servikalis dan submandibularis, bila limfadentis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derjat penetrasi toksin dan luas memban. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafsan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian dapat berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis dan neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Diteria Laring
 Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif,  suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.
Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga
 Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga merupakan tipe difteri yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dan sekret purulen dan berbau.



B.    Etiologi
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat.
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.
Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.
 Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.
 Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:
1.    Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai  saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
2.    Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
3.    Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, dan Corynebacterium serosis.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.


Basil dapat membentuk :
1)    Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
2)    Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.
Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah mengering.

C.    Manifestasi Klinis
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada pseudomembrane bisa di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi.
Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis paralysis jaringan saraf atau nefritis.

D.    Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG.

E.    Penatalaksanaan Difteri
Tindakan Umum
Tujuan :
a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum
c. Mengatasi gejala /akibat yang timbul
Jenis Tindakan :
1.    Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
2.    Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan (terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).
3.     Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia, stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
4.    Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal
5.    Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)
6.    Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.
7.     Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas :
a)    Berikan Oksigen
b)    Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson :
1)    Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal
2)    Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah
3)    Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah
4)    Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia
Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat 2)  dan 3).

Tindakan Spesifik
Tujuan :
a.    Menetralisir Toksin
b.    Eradikasi Kuman
c.    Menanggulangi infeksi sekunder
Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :
1.    Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.
a)    40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral.
b)    80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.
c)    120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe difteri    Dosis DS (KI)    Cara Pemberian
Difteri hidung    20.000    IM
Difteri tonsil    40.000    IM atau IV
Difteri faring    40.000    IM atau IV
Difteri laring    40.000    IM atau IV
Kombinasi lokasi di atas    80.000    IV
Difteri + penyulit, bullneck    80.000-120.000    IV
Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana saja    80.000-120.000    IV

SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan:
Uji Kepekaan
1.    Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
2.    Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg BB im, maksimal diulang 3x dengan interval  5-15 menit ).
3.    Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.

Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :
Tes kulit
a.    SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit.
b.    Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
Tes Mata
c.    1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah
d.    1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian
e.    Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )
f.    Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000
Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi) dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:
g.    0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
h.    0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
i.     0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan
j.     0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
k.    0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan
l.    0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan
m.    1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
n.    SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan adrenalin 1:1000.

2.    Antibiotik
a.    Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.
b.    Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.

3.    Kortikosteroid
a.    Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)
b.    Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
c.    Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)


F.     PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.    Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
2.     Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
3.    Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
4.    Enzim CPK, segera saat masuk RS
5.    Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6.    EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
7.    Tes schick:
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)
 Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). (Sumarmo: 2008)
 Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.
Tes hapusan spesimen:
Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, berguna untuk identifikasi tempat spesies,uji toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.
G.    DIAGNOSA BANDING
1.    Difteri Hidung
Pada difteri nasal, penyakit yang menyerupai adalah rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital)
2.    Difteri Fausial
Harus dibedakan dengan:
a.    Tonsilitis folikularis atau lakunaris
Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus dianggap sebagai penderita difteriae bila panas terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat. Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah, faring an tonsil tampak hiperemis dengan membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja.
b.    Angina Plaut Vincent
Penyakit ini juga membran putih yang rapuh, tebal, berbau dan tidak mudah berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirilia (gram negatif).
c.     Infeksi tenggorokan oleh mononukleusus infeksiosa
Terdapat kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi.
Mungkin pula ditemukan ulkus membranposa pada faring dan tonsil.
1.    Difteri Laring
Harus dibedakan dengan laringitis akut, laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan membran rapuh yang tidak berdarah), atau benda asing pada laring, yang semuanya akan memberikan gejala striddor inspirasi dan sesak.
2.    Difteri  Kulit
Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus.

PENGOBATAN PENYULIT
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjagaagar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

PENGOBATAN KARIER
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji shick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaring. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.


Tabel II. Pengobatan terhadap Kontak Difteri

Biakan    Uji Shick    Tindakan
(-)    (-)    Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria
(+)    (-)    Pengobatan karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
(+)    (+)    Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-)    (+)    Toksoid difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunitas

H.    Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :
1.    Miokarditis
a.    biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit
b.    Pemerikasaan Fisik :
Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung.
Gambaran EKG : 
o    Depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, tachicardi ventrikel,   fibrilasi ventrikel dan perubahan interval QT
o    Laborat : kadar enzim jantung meningkat (LDH,CPK,SGOT,SGPT)
o    Rontgen : jantung membesar bila terdapat gagal jantung
1.    Kolaps perifer
2.    Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis
3.    Urogenital : dapat terjadi nefritis
4.    Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik
a.    Terjadi pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit
b.    Tanda-tanda renjatan :
a)    TD menurun (systol ≤ 80 mmHg)
b)    Tekanan nadi menurun
c)    Kulit keabu-abuan dingin dan basah
d)    Anak gelisah

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian Keperawatan
1.    Riwayat Keperawatan; Riwayat terkena penyakit infeksi, status immunisasi
2.    Kaji tanda-tanda yang terjadi pada Nasa, tonsil/faring, dan laring
3.    Lihat dari Manifestasi klinis berdasarkan atur patofisiologi

B.    Diagnosa Keperawatan
1.    Tidak efektif bersihan jalan Nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas
2.    Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen
3.    Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakitnya (metabolisme meningkat, intake cairan menurun).
4.    Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang.

C.    Perencanaan Keperawatan
Diagnosa:
1.    Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan nafas efektif
KH : Jalan Nafas Kembali Normal
Intervensi :
a)    Kaji status pernafasan, observasi irama dan bunyi pernafasan
b)    Atur posisi kepala dengan posisi ekstensi
c)    Suction jalan nafas jika terdapat sumbatan
d)    Berikan oksigen sebelum dan setelah dilakukan suction
e)    Lakukan fisioterapi dada.
f)    Persiapkan anak untuk dilakukan trakeostomi
g)    Lakukan pemeriksaan Analisa Gas Darah.
h)    Lakukan Intubasi jika ada indikasi.
Evaluasi :
 Jalan nafas kembali efektif

2.    Resiko Penyebarluasan Infeksi berhubungan dengan organisme Virulen
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perluasan infeksi tidak terjadi.
KH : Tidak ditemukan perluasan infeksi
Intervensi :
a.    Tempatkan anak pada ruang khusus
b.    Pertahankan isolasi yang ketat di RS
c.    Gunakan Prosedur terlindungi infeksi jika melakukan kontak dengan Anak. (APD).
d.    Berikan Antibiotik sesuai Intruksi dokter
Evaluasi :
 Penyebarluasan infeksi tidak terjadi.

3.    Resiko tinggi tejadinya kekurangan volume cairan berhubungan dengan penyakit (Metabolisme meningkat, intake cairan menurun).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan volume cairan terpenuhi.
KH : Anak dapat mempertahankan keseimbangan cairan
Dehidrasi tidak terjadi
Intervensi :
a.    Monitor intake output secara tepat, pertahankan intake cairan dan elektrolit yang tepat.
b.    Kaji adanya tanda-tanda Dehidrasi (membrane mukosa kering, turgor, kulit kurang, Produksi urin menurun, frekuensi denyut jantung dan pernafasan, meningkat, tekanan darah menurun, fontanel cekung).
c.    Kolaborasi untuk pemberian cairan parenteral jika pemberian cairan melalui oral tidak memungkinkan.
Evaluasi :
 Keseimbangan cairan dapat dipertahankan

4.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
KH : - Berat badan anak bertambah
         - Turgor kulit baik
Intervensi :
a.    Kaji ketidakmampuan anak untuk makan
b.    Pasang NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak
c.    Kolaborasi untuk pemberian nutrisi parenteral
d.    Monitor indicator terpenuhi kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar lengan, membran mukosa) yang adekuat.
Evaluasi :
 Tanda-tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi

Pelaksanaan Keperawatan
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi (pelaksanaan) perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan. Memantau dan mendokumentasikan pelaksanaan perawatan.
(Doenges E Marilyn, dkk, 2000).

BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan psudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri, dan bahan lainnya, didekat tonsil dan bagian faring yang lain. Membrane ini tidak mudah robek dan bewarna keabu-abuan. Jika membran ini dilepaskan secara paksa maka lapsan lender dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udaraaau secara tiba-tiba bias terlepas dan menyumbat saluran udara sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukanya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tidak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di faring dan dibuatkan biakan dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. Penularan difteri dapat melalui kontak langsung seperti berbicara dengan penderita, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Tetapi sejak diperkenalkan vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.



B.    Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.
Sedangkan untuk perawat, penderita dengan difteri harus diberikan isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C. diphtheria 2x berturut-turut. Gunakan prosedur terlindungi infeksi jika melakukan kontak langsung dengan anak (APD).


DAFTAR PUSTAKA


Carpentino, Lynda Juall.2001.Buku Saku : Diagnosa keperawatan edisi : 8 Penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta

Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com. diambil 15 maret 2012

Doengoes, E Marlynn,dkk.2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3 penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta

Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta

Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) MYOCARDITIS

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) MYOCARDITIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Myocarditis adalah peradangan pada otot jantung atau miokardium. pada umumnya disebabkan oleh penyakit-penyakit infeksi, tetapi dapat sebagai akibat reaksi alergi terhadap obat-obatan dan efek toxin bahan-bahan kimia dan radiasi
Terdapat perubahan epidemiologi endokarditis infektif pada saat sekarang yang disebabkan tingkat kesehatan umum yang baik, tingkat kesehatan gigi yang baik, pengobatan yang lebih dini dan penggunaan antibiotic. Insidens endokarditis 10-60 kasus per 1.000.000 penduduk per tahun diseluruh dunia dan cenderung meningkat pada usia lanjut.
Penyakit ini perlu penanganan dan pengobatan yang tepat dan sesegera mungkin karena apabila tidak disegerkan akan mengakibatkan dampak yang fatal.

1.2 Rumusan masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan miokarditis?
2.    Apa etiologi dari miokarditis ?
3.    Apa saja faktor resiko pada pasien dengan miokarditis?
4.    Apa saja manifestasi klinis dari miokarditis miokarditis?
5.    Apa saja pemeriksaan diagnostik pada miokarditis?
6.    Bagaimanakah asuhan keperawatan pada miokarditis?

1.3 Tujuan
1.    Untuk menegetahui definisi miokarditis?
2.    Untuk mengetahui etiologi dari miokarditis?
3.    Untuk mengetahui faktor resiko pada klien dengan miokarditis?
4.    Untuk mengetahui manifestasi klinis dari miokarditis?
5.    Untuk mengetahui macam-macam pemeriksaaan diagnostik pada miokarditis?
6.    Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada miokarditis?

1.4 Manfaat
Manfaat yang ingin diperoleh dalam penyusunan makalah ini adalah:
1.4.1 Mendapatkan pengetahuan tentang Miokarditis?
 1.4.2 Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan Miokarditis?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi    
Myocarditis adalah peradangan pada otot jantung atau miokardium. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa myocarditis adalah peradangan otot jantung oleh berbagai penyebab terutama agen-agen infeksi.          
Miokarditis adalah peradangan pada otot jantung atau miokardium. Pada umumnya miokarditis disebabkan penyakit-penyakit infeksi tetapi dapat sebagai akibat reaksi alergi terhadap obat-obatan dan efek toksik bahan-bahan kimia radiasi. Miokarditis dapat disebabkan infeksi, reaksi alergi, dan reaksi toksik. Pada miokarditis, kerusakan miokardium disebabkan oleh toksin yang dikeluarkan basil miosit. Toksin akan menghambat sintesis protein dan secara mikroskopis akan didapatkan miosit dengan infiltrasi lema, serat otot mengalami nekrosis hialin. Beberapa organisme dapat menyerang dinding arteri kecil, terutama arteri koronaintramuskular yang akan memberikan reaksi radang perivaskular miokardium. Keadaan ini dapat disebabkan oleh pseudomonas dan beberapa jenis jamur seperti aspergilus dan kandida. Sebagian kecil mikroorganisme menyerang langsung sel-sel miokardium ysng menyebaban reaksi radang. Hal ini dapat terjadi pada Toksoplasmosis gondii. Pada trikinosis, sel-sel radang yang ditemukan terutama eusinofil (Elly Nurachmach, 2009).
Myocardium lapisan medial dinding jantung yang terdiri atas jaringan otot jantung yang sangat khusus (Brooker, 2001). Myocarditis adalah peradangan pada otot jantung atau miokardium. pada umumnya disebabkan oleh penyakit-penyakit infeksi, tetapi dapat sebagai akibat reaksi alergi terhadap obat-obatan dan efek toxin bahan-bahan kimia dan radiasi (FKUI, 1999). Myocarditis adalah peradangan dinding otot jantung yang disebabkan oleh infeksi atau penyebab lain sampai yang tidak diketahui (idiopatik) (Dorland, 2002).
Miokarditis adalah inflamasi fokal atau menyebar dari otot jantung (miokardium) (Doenges, 1999). Dari pebgertian diatas dapat disimpulkan bahwa myocarditis adalah peradangan/inflamasi otot jantung oleh berbagai penyebab terutama agen-agen infeksi.

2.2 Etiologi Dan Klasifikasi 
1) Acute isolated myocarditis adalah miokarditis interstitial acute dengan etiologi tidak diketahui.
2)      Bacterial myocarditis adalah miokarditis yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
3)      Chronic myocarditis adalah penyakit radang miokardial kronik.
4)      Diphtheritic myocarditis adalah mikarditis yang disebabkan oleh toksin bakteri yang dihasilkan pada difteri : lesi primer bersifat degeneratiff dan nekrotik dengan respons radang sekunder.
5)      Fibras myocarditis adalah fibrosis fokal/difus mikardial yang disebabkan oleh peradangan kronik.
6)      Giant cell myocarditis adalah subtype miokarditis akut terisolasi yang ditandai dengan adanya sel raksasa multinukleus dan sel-sel radang lain, termasuk limfosit, sel plasma dan makrofag dan oleh dilatasi ventikel, trombi mural, dan daerah nekrosis yang tersebar luas.
7)      Hypersensitivity myocarditis adalah mikarditis yang disebabkan reaksi alergi yang disebabkan oleh hipersensitivitas terhadap berbagai obat, terutama sulfonamide, penicillin, dan metildopa.
8)      Infection myocarditis adalah disebabkan oleh agen infeksius ; termasuk bakteri, virus, riketsia, protozoa, spirochaeta, dan fungus. Agen tersebut dapat merusak miokardium melalui infeksi langsung, produksi toksin, atau perantara respons immunologis.
9)      Interstitial myocarditis adalah mikarditis yang mengenai jaringan ikat interstitial.
10)  Parenchymatus myocarditis adalah miokarditis yang terutama mengenai substansi ototnya sendiri.
11)  Protozoa myocarditis adalah miokarditis yang disebabkan oleh protozoa terutama terjadi pada penyakit Chagas dan toxoplasmosis.
12)  Rheumatic myocarditis adalah gejala sisa yang umum pada demam reumatik.
13)  Rickettsial myocarditis adalah mikarditis yang berhubungan dengan infeksi riketsia.
14)  Toxic myocarditis adalah degenerasi dan necrosis fokal serabut miokardium yang disebabkan oleh obat, bahan kimia, bahan fisik, seperti radiasi hewan/toksin serangga atau bahan/keadaan lain yang menyebabkan trauma pada miokardium.
15)  Tuberculosis myocarditis adalah peradangan granulumatosa miokardium pada tuberkulosa.
16)  Viral myocarditis disebabkan oleh infeksi virus terutama oleh enterovirus ; paling sering terjadi pada bayi, wanita hamil, dan pada pasien dengan tanggap immune rendah (Dorland, 2002).  

2.3 Patofisiologi       
Kerusakan miokard oleh kuman-kuman infeksius dapat melalui tiga mekanisme dasar :
1)    Invasi langsung ke miokard.
2)    Proses immunologis terhadap miokard.
3)    Mengeluarkan toksin yang merusak miokardium.    
Proses miokarditis viral ada dua tahap, fase pertama (akut) berangsung kira-kira 1 minggu (pada tikus) di mana terjadi invasi virus ke miokardium, replikasi virus dan lisis sel. Kemudian terbentuk neutralizing antibody dan virus akan dibersihkan atau dikurangi jumlahnya dengan bantuan makrofag dan neutral killer cell (sel NK).
Fase kedua miokardium akan diinfiltrasi oleh sel-sel radang dan sistem imun akan diaktifkan antara lain dengan terbentuknya antibodi terhadap miokardium, akibat perubahan permukaan sel yang terpajan oleh virus. Fase ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan diikuti kerusakan miokardium dan yang minimal sampai yang berat.
Enterovirus sebagai penyebab miokarditis viral juga merusakkan sel-sel endotel dan terbentuknya antibodi endotel, diduga sebagai penyebab spasme mikrovaskular. Walaupun etiologi kelainan mikrovaskular belum pasti, tetapi sangat mungkin berasal dari respon imun atau kerusakan endotel akibat infeksi virus.
Jadi pada dasarnya terjadi spasme sirkulasi mikro yang menyebabkan proses berulang antara obstruksi dan reperfusi yang mengakibatkan larutnya matriks miokardium dan habisnya otot jantung secara fokal menyebabkan rontoknya serabut otot, dilatasi jantung, dan hipertrofi miosit yang tersisa. Akhirnya proses ini mengakibatkan habisnya kompensasi mekanis dan biokimiawi yang berakhir dengan payah jantung (Elly Nurachmach, 2009).
2.4  Gejala Klinis       
1.    Letih
2.    Napas pendek
3.    Detak jantung tidak teratur
4.    Demam
Gejala-gejala lain karena gangguan yangmendasarinya (Griffith, 1994).
a)      Menggigil
b)      Demam
c)      Anoreksia
d)     Nyeri dada
e)      Dispnea dan disritmia.
f)       Tamponade
g)      ferikardial/kompresi (pada efusi perikardial)

2.5  Komplikasi
1.    Kardiomiopati kongestif/dilated.
2.    Payah jantung kongestif.
3.    Efusi perikardial.
4.    AV block total.
5.    Trombi Kardiac          
2.6  Pemeriksaan Diagnostik
1.    Laboratorium : leukosit, LED, limfosit, LDH.
2.    Elektrokardiografi.
3.    Rontgen thorax.
4.    Ekokardiografi.
5.    Biopsi endomiokardial.          
2.7  Penatalaksanaan
1.    Perawatan untuk tindakan observasi.
2.    Tirah baring/pembatasan aktivitas.
3.    Antibiotik atau kemoterapeutik.
4.    Pengobatan sistemik supportif ditujukan pada penyakti infeksi sistemik.
5.    Antibiotik.
6.    Obat kortikosteroid.
7.    Jika berkembang menjadi gagal jantung kongestif : diuretik untuk mnegurangi retensi ciaran ; digitalis untuk merangsang detak jantung ; obat antibeku untuk mencegah pembentukan bekuan. 
8.    Terapi komplikasi : alat pacu jantung (blok total)

2.8 Prognosis
•    Sebagian cepat sembuh cepat, kadang jadi kronis.
•    Prognosis buruk bila :
1) Umur muda, sering mati mendadak
2) Bentuk akut fulminan karena virus atau difteri
3) Miokarditis yang sangat progresif
4) Bentuk kronis yang berlanjut menjadi kardiomiopati
5) Penyakit chaga.
DOWNLOAD : WOC ASKEP MYOCARDITIS

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian    
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh
a. Keluhan utama
•    Demam
•    Nyeri dada mirip angina pectoris dan perikarditis
•    Palpitasi
•    Sesak napas
b. Tanda Penting
•    Takikardi
•    Kardomegali (cepat terjadi)
•    Bunyi jantung melemah
•    Irama gallopTanda-tanda gagal jantung, terutama gagal jantung kanan.
Pengkajian pasien myocarditis (Marilynn E. Doenges, 1999) meliputi :
Aktivitas / istirahat         
Gejala  : kelelahan, kelemahan.
Tanda  : takikardia, penurunan tekanan darah, dispnea dengan aktivitas.   
Pernapasan
Gejala  :napas pendek (napas pendek kronis memburuk pada malam hari). 
Tanda  :DNP (dispnea nocturnal paroxismal) ; batuk, inspirasi mengi ; takipnea, krekels, dan ronkhi ; pernapasan dangkal.
Sirkulasi  
Gejala  :riwayat demam rematik, penyakit jantung congenital, bedah jantung, palpitasi, jatuh pingsan.
Tanda  :takikardia, disritmia, perpindaha titik impuls maksimal, kardiomegali, frivtion rub, murmur, irama gallop (S3 dan S4), edema, DVJ, petekie, hemoragi splinter, nodus osler, lesi Janeway.    
Eliminasi 
Gejala  : riwayat penyakit ginjal/gagal ginjal ; penurunan frekuensi/jumlsh urine.
Tanda  :  urin pekat gelap.     

Nyeri
Gejala    :nyeri seperti tertimpa beban bert dan terasa terbakar        
Tanda    : perilaku distraksi, misalnya gelisah.          
 Keamanan
Gejala  :riwayat infeksi virus, bakteri, jamur (miokarditis ; trauma dada ; penyakit keganasan/iradiasi thorakal ; dalam penanganan gigi ; pemeriksaan endoskopik terhadap sitem GI/GU), penurunan system immune, SLE atau penyakit kolagen lainnya.
Tanda  :demam.         

3.2 Pemeriksaan Khusus     
a. Pemeriksaa EKG :Tidak khas
•    ST-T changes inferior
•    Gangguan konduksi jantung
1.    Foto Toraks :Tidak khas
•    Pembesaran jantung dengan efusi perikard atau pleura.
1.    Ekokardiografi :
•    Pembesaran jantung kiri
•    Dapat di bedakan dengan kardiomiopati hipertrofi dan mitral stenosis.

3.3 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan.
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi miokardium, efek-efek sistemik dari infeksi, iskemia jaringan.
2.  Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan degenerasi otot jantung, penurunan/kontriksi fungsi ventrikel.
3. Infeksi berhubungan dengan penyebaran agen infeksius
4. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penrunan cardiac output.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard, penurunan curah jantung.
6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, rencana pengobatan berhubungan dengan kurang pengetahuan/daya ingat, mis-intepretasi informasi, keterbatasan kognitif, menyangkal diagnosa.        

3.4 Intervensi
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan.
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999).          
1. Nyeri    
Tujuan                : Nyeri hilang atau terkontrol.
Kriteria Hasil     : - Nyeri berkurang atau hilang           
  - Klien tampak tenang.        
Intervensi :       
•    Kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai indikasi (agen nonsteroid : aspirin, indocin ; antipiretik ; steroid).       
R : dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi, menurunkan demam ; steroid diberikan untuk gejala yang lebih berat.        
•    Kolaborasi pemberian oksigen suplemen sesuai indikasi.  
R : memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk menurunkan beban kerja jantung
•    Berikan lingkungan yang tenang dan tindakan kenyamanan misalnya ; perubahan posisi, gosokkan punggung, penggunaan kompres hangat/dingin, dukungan emosional.    
R : tindakan ini dapat menurunkan ketidaknyamanan fisik dan emosional pasien.
•    Berikan teknik distraksi yang tepat           
R : mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu.
•    Menitoring keluhan nyeri dada dan faktor pemberat atau penurun. Perhatikan petunjuk nonverbal dari ketidaknyamanan, misalnya ; berbaring dengan diam/gelisah, tegangan otot, menangis. 
R : pada nyeri ini memburuk pada inspirasi dalam, gerakkan atau berbaring dan hilang dengan duduk tegak/membungkuk.        

2. Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung         
Tujuan                  : Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
Kriteria Hasil       : -Melaporkan/menunjukkan penurunan periode dispnea, angina, dan disritmia.    
  -Memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil.       
Intervensi :       
•    Pertahankan tirah baring dalam posisi semi-Fowler.         
R : menurunkan beban kerja jantung, memaksimalkan curah jantung.
•    Memberikan tindakan kenyamanan misalnya ; perubahan posisi, gosokkan punggung, dan aktivitas hiburan dalam tolerransi jantung.   
R : meningkatkan relaksasi dan mengarahkan kembali perhatian.
•    Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, seperti digitalis, diuretik.
R : dapat diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas miokard dan meurunkan beban kerja jantung.  
•    Kolaborasi pemberian antibiotik/antimikrobial intervena
R : diberikan untuk mengatasi patogen yang teridentifikasi dan mencegah kerusakan jantung yang lebih lanjut.
•    Memantau frekuensi/irama jantung, TD, dan frekuensi pernapasan sebelum dan setelah aktivitas dan selama diperlukan. 
R : membantu menentukan derajat dekompensasi jantung dan pulmonal.            Penurunan TD, takikardia, disritmia, dan takipnea adalah indikatif dari kerusakan toleransi jantung terhadap aktivitas.
•    Auskultasi bunyi jantung. Perhatikan jarak/muffled tonus jantung, murmur, gallop S3 dan S4. 
R : memberikan deteksi dini dari terjadinya komplikasi misalnya : GJK, tamponade jantung.
3.   Resiko infeksi b.d penyebaran agen infeksius
Tujuan: Tidak terjadi penyebaran infeksi
Kriteria hasil: -Suhu tubuh normal, 36,5-37 C
Nilai WBC normal 3800–9800/mcl
Intervensi:
•    Kolaborasi pemberian antibiotik
R/ Antibiotik untuk mengurangi agen infeksius
•    Melakukan tes darah lengkap memantau nilai granulosit dan WBC
R/ untuk mengetahui nilai WBC dan granlosit sebagai indikator adanya infeksi
•    Observasi tanda-tanda vital
R/ Memantau perkembangan kondisi pasien dan melakukan tindakan selanjutnya
4. Intoleransi aktivitas      
Tujuan                : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil                  :- Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
 - Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.       
 -Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi :
•    Bantu pasien dalam program latihan progresif bertahap sesegera mungkin untuk turun dari tempat tidur, mencatat respons tanda vital dan toleransi pasien pada peningkatan aktivitas.  
R : saat inflamasi/kondisi dasar teratasi, pasien mungkin mampu melakukan aktivitas yang diinginkan, kecuali kerusakan miokard permanen/terjadi komplikasi.
•    Mengkaji respons pasien terhadap aktivitas. Perhatikan adanya perubahan dan keluhan kelemahan, keletiahan, dan dispnea berkenaan dengan aktivitas.      
R : miokarditis menyebabkan inflamasi dan kemungkinan kerusakan fungsi sel-sel miokardial.
•    Pertahankan tirah baring selama periode demam dan sesuai indikasi.     
R : meningkatkan resolusi inflamasi selama fase akut.
•    Kolaborasi pemberian oksigen suplemen sesuai indikasi.
R : memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk menmgimbangi konsumsi oksigen yang terjadi dengan aktifitas
•    Meantau frekuensi/irama jantung, TD, dan frekuensi pernapasan sebelum dan setelah aktivitas dan selama diperlukan. 
R : membantu menentukan derajat dekompensasi jantung dan pulmonal.Penurunan TD, takikardia, disritmia, dan takipnea adalah indikatif dari kerusakan toleransi jantung terhadap aktivitas.
5.   Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan cardiac output.
Tujuan : Gangguan perfusi jaringan teratasi dalam waktu 3x24 jam.
Kriteria Hasil :  - RR 30-60 x/mnt
-Nadi 120-140 x/mnt.
-Suhu 36,5-37 C
-Sianosis (-)
-Ekstremitas hangat
Intervensi:
•    Beri oksigen sesuai kebutuhan
R/ Membantu meningkatkan cardiac output
•    Observasi frekuensi dan bunyi jantung
R/ Frekuensi dan bunyi jantung yang normal mengindikasikan aliran darah lancar yang berarti perfusi jaringan kembali normal.
•    Observasi adanya sianosis.
R/ adanya sianosis atau kebiruan menunjukkan adanya gangguan perfusi jaringan.
•    Observasi TTV.
R/ Memantau perkembangan kondisi pasien
•    Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy.
R/ Meningkatkan cardiac output
6. Kurang pengetahuan    
Tujuan : menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.
Kriteria hasil : -Mengidentifikasi efek samping obat dan kemungkinan komplikasi yang perlu diperhatikan.
-Memperlihatan perubahan perilaku untuk mencegah komplikasi.      
Intervensi :       
•    Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar termasuk orang terdekat.      
R : Perasaan sejahtera yang sudah lama dinikmati mempengaruhi minat pasien/orang terdekat untuk mempelajari penyakit.
•    Jelaskan efek inflamasi pada jantung, secara individual pada pasien. Ajarakkn untuk memperhatikan gejala sehubungan dengan komplikasi/berulangnya dan gejala yang dilaporkan dengan segera pada pemberi perawatan, contoh ; demam, peningkatan nyeri dada yang tak biasanya, peningkatan berat badan, peningkatan toleransi terhadap aktivitas.  
R : untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan sendiri, pasien perlu memahami penyebab khusus, pengobatan dan efek jangka panjang yang diharapkan dari kondisi inflamasi, sesuai dengan tanda/gejala yang menunjukan kekambuhan/komplikasi.          
•    Anjurkan pasien/orang terdekat tentang dosis, tujuan dan efek samping obat; kebutuhan diet ; pertimbangan khusus ; aktivitas yang diijinkan/dibatasi.  
R : informasi perlu untuk meningkatkan perawatan diri, peningkatan keterlibatan pada program terapeutik, mencegah komplikasi.
•    Kaji ulang perlunya antibiotic jangka panjang/terapy antimicrobial.        
R : perawatan di rumah sakit lama/pemberian antibiotic IV/antimicrobial perlu sampai kultur darah negative/hasil darah lain menunjukkan tak ada infeksi.    
3.5  Evaluasi
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan.   
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :        
1. Nyeri hilang atau terkontrol           
2. Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
3. Tidak ada infeksi sistemik
4. Perfusi jaringan perifer kembali normal     
5. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
6. Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.


BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
            Miokarditis jarang didapat pada saat puncak penyakit infeksinya karena akan tertutup oleh manifestasi sistemis penyakit infeksi tersebut dan baru jelas pada fase pemulihan. Bentuk ini umumnya sembuh dengan sendirinya, tetapi sebagian berlanjut menjadi bentuk kardiomiopati dan ada juga yang menjadi penyebab aritmia, gangguan konduksi atau payah jantung yang secara struktural dianggap normal.
Sebagian besar keluhan klien tidak khas, mungkin didapatkan rasa lemah, berdebar-debar, sesak napas, dan rasa tidak enak di dada. Nyeri dada biasanya ada bila disertai perikarditis. Kadang-kadang didapatkan rasa nyeri yang menyerupai angina pektoris. Gejala yang paling sering ditemukan  adalah takikardia yang tidak sesuai dengan kenaikan suhu. Kadang-kadang didapatkan hipotensi dengan nadi yang kecil atau dengan gangguan pulsasi.

4.2 Saran
            Sebagai perawat harus selalu sigap dalam penanganan penyakit myocarditis karena akan menjadi fatal jika terlambat menanganinya. Selain itu perawat juga memberi health education kepada klien dan keluarga agar mereka faham dengan myocarditis dan bagaimana pengobatannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2008.Inefective Endocarditis. Diakses dari : www.satriaperwira.wordpress.com   Pada : 6 Desember 2010. Pukul: 11.00 WIB.
Baswin,Ade.2009.Endokarditis. Diakses dari : www.one.indoskripsi.com Pada : 5 Desember 2010. Pukul : 19.00 WIB.
Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Wulandari,Veni.2009.Endokarditis. Diakses dari : www.veniwulandari.blogspot.com Pada : 5 Desember 2010. Pukul : 20.00 WIB.
Medika,Yasir.2009.Askep Endokarditis. Diakses dari: www.yasirblogspotcom.blogspot.com Pada : 8 Desember 2010. Jam : 19.30 WIB.
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.
Patriani.2008.Askep Miokasrditis. Diakses dari : www.asuhan-keperawatan-patriani.blogspot.com Pada : 6 Desember 2010. Pukul 18.30 WIB.
Udjianti, Wajan Juni. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba.
Yuflihul-khair.2010.Endokarditis. Diakses dari  : www.yuflihul-khair.blogspot.com Pada : 8 Desember 2010. Pukul : 19.00 WIB.
Nonik.2010.All About Nursing. Diakses dari : www.nerstitis.blogspot.com Pada : 13 Desember 2010. Pukul : 16.15 WIB.