KEDARURATAN SISTEM PERNAFASAN
(TRAUMA THORAX)
A.
Definisi
Trauma thorax
adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda
paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).
Hematotorax
adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan
terjadinya perdarahan.
Pneumotorax adalah
terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.
1.
Anatomi
Anatomi Rongga
Thoraks :
Kerangka dada
yang terdiri dari tulang dan tulang rawan, dibatasi oleh :
a.
Depan : Sternum
dan tulang iga.
b.
Belakang : 12 ruas tulang belakang (diskus
intervertebralis).
c.
Samping : Iga-iga beserta otot-otot
intercostal.
d.
Bawah : Diafragma
e.
Atas : Dasar
leher.
Isi :
a.
Dinding dada
:
merupakan bungkus untuk organ
didalamnya, yang terbesar adalah jantung dan paru-paru. Tulang iga dengan
tulang sternum membentuk rangka dada. Otot –otot intercostal serta diafragma
pada bagian kaudal menutup rongga dada sehingga terbentuk rongga toraks.
b.
Pleura dan
paru :
Pleura parietalis melapisi satu sisi
dari rongga toraks dengan melekat erat pada dinding dada dan diafragma. Pleura
viseralis melapisi seluruh paru. Antara Pleura parietalis dan Pleura viseralis
ada tekanan negatif sehingga keduanya saling bersinggungan. Ruangan antara
kedua pleura tersebut dinamakan rongga pleura.
c.
Mediatinum :
ruang di dalam rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya meliputi
jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, oesophagus, aorta desendens, duktus
torasika dan vena kava superior, saraf vagus dan frenikus serta sejumlah besar
kelenjar limfe (Pearce, E.C., 1995).
2.
Fisiologi
a. Pernafasan
Pernafasan
terdiri dari inspirasi (menarik naafas) dan ekspirasi (mengeluarkan nafas).
Saat inspirasi udara masuk secara pasif karena perbedaan tekanan, sedangkan
saat ekspirasi udara keluar secara aktif karena didorong. Apabila pernafasan
buatan dibuat lebih dari 24x/mnt maka dikenal dengan istilah Hiperventilasi.
b. Hipoksia dan hiperkapnia
Gangguan pernafasan
akan mengakibatkan gangguan oksigenasi (kadar O2 rendah) yang dikenal sebagai
hipoksia. Apabila pernafasan disertai dengan penimbunan CO2 dalam darah, maka
akan timbul keadaan hiperkapnia. Hiperkapnia ringan tidak mungkin dikenal
secara klinis, hanya dapat memakai alat yang disebut Capnograph.
Gambar Rongga Thoraks :
Jantung Sternum
& perikardium Saraf
frenikus
Vena
Kava Superior
Trakea Left Right Oesophagus
Lung lung Saraf
vagus
Aorta Vertebra
Sal.
Torasika
B.
Etiologi
1.
Tamponade jantung : disebabkan luka tusuk dada yang tembus ke
mediastinum/daerah jantung
2.
Hematotoraks : disebabkan luka tembus toraks oleh benda tajam, traumatik
atau spontan
3.
Pneumothoraks : spontan (bula yang pecah) ; trauma (penyedotan luka rongga
dada) ; iatrogenik (“pleural tap”, biopsi paaru-paru, insersi CVP, ventilasi
dengan tekanan positif) (FKUI, 1995).
C.
Patofisiologi
Trauma Thorax
Mengenai rongga toraks sampai Terjadi robekan Pemb. Darah intercostal,
rongga pleura, udara bisa pemb.darah
jaringan paru-paru.
masuk (pneumothorax)
Terjadi
perdarahan :
Karena tekanan negative intrapleura (perdarahan jaringan
intersititium, perarahan intraalveolar
Maka udara luar akan terhisap masuk diikuti kolaps kapiler kecil-kecil dan
atelektasi)
ke rongga pleura (sucking wound) tahanan
perifer pembuluh paru naik
(aliran
darah turun)
- Open penumothorax
- Close pneumotoraks =
ringan kurang 300 cc ® di punksi
- Tension pneumotoraks =
sedang 300 - 800 cc ®
di pasang drain
=
berat lebih 800 cc ®
torakotomi
Tek. Pleura meningkat terus
Tek.
Pleura meningkat terus
mendesak
paru-paru
(kompresi
dan dekompresi)
pertukaran
gas berkurang
- sesak napas yang progresif = sesak napas yang progresif
(sukar bernapas/bernapas berat) = nyeri
bernapas/pernafsan asimetris/ jejas/ trauma
- nyeri bernapas =
pekak dengan batas jelas/tak jelas.
- bising napas berkurang/hilang = bising napas tak terdengar
- bunyi napas sonor/hipersonor = nadi cepat/lemah anemis / pucat
- poto toraks gambaran udara lebih ¼
dari rongga torak =
poto toraks 15 - 35 % tertutup bayangan
WSD / Bullow Drainage
-
terdapat luka pada WSD - Kerusakan integritas
kulit
-
nyeri pada luka bila untuk - Resiko terhadap infeksi
bergerak. -
Perubahan kenyamanan : Nyeri
perawatan WSD harus di - Ketidak efektifan pola pernapasan
perhatikan. -
Potensial Kolaboratif : Atelektasis dan
Inefektif
bersihan jalan napas Pergeseran
mediatinum
Jenis trauma thorax
Ada beberapa jenis
trauma Thorax yang harus dikenali pada primery survei, karena apabila tidak
dikenali akan menyebabkan kemitian dengan cepat.
a. Airway
Penekanan pada trakea
di daerah thorax dapat terjadi karena misalnya fraktur sternum. Pada
pemeriksaan klinis penderita akan ada gejala penekanan airway seperti stidor
inspirasi dan suara serak. Biasanya penderita perlu jalan nafas definitif.
b. Breathing
Ada 4 gangguan
breathing :
1) Pneumothorax terbuka / open pneumothorax
Luka yang besar pada
dinding dada akan menyebabkan pneumothorax terbuka. Tekanan di dalam rongga
pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfer. Trauma ini dapat
timbul karena benda tajam. Sedemikian rupa sehingga ada hubungan udara luar
dengan rongga pleura, sehingga paru menjadi kuncup. Apabila lubang ini lebih
besar dari pada 2/3 diameter trakea, maka pada inspirasi udara lebih mudah
melewati lubang pada dinding dada dibandingkan melewati mulut, sehingga terjadi
sesak yang begitu hebat. Akibatnya ventilasi menjadi terganggu sehingga menyebabkan
hipoksia dan hiperkapnia.
Dengan demikian maka
langkah awal pada open pneumothorax adalah menutup luka dengan kassa oklusif
steril yang di plester 3 sisi saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan
akan terjadi efek katup dimana saat inspirasi kassa penutup akan menutup luka,
mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kassa penutup terbuka untuk
menyingkirkan udara keluar.
2) Tension pneumothorax
Apabila ada mekanisme
ventil, kebocoran udara yang berasal dari paru paru atau dari luar melalui
dinding dada, masuk kedalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one way
valve), maka udara akan semakin banyak pada satu sisi rongga pleura. Akibatnya
adalah paru sebelahnya akan tertekan, dengan akibat sesak yang berat =
mediastinum akan terdorong, dengan akibat timbul syok.
Penyebab tersering
dari tension pneumothorax ini adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik
(ventilator). Dengan ventilasi tekanan positif pada penderita yang ada
kerusakan pada pleura visera. Tension pneumothorax juga dapat timbul akibat
cidera thorax, misalnya cidera tulang belakang thorax yang mengalami
pergeseran. Pada penyakit ini ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak yang
berat, distres pernafasan, takikardia, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya
suara nafas pada satu sisi, dan distensi vena leher.
Diagnosa yang
ditegakkan secara klinis, pada perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara
nafas pada hemothorax yang terkena pada
pada tension akan membedakan dengan hasil klinis temponade jantung. Sehingga
apabila keadaan berat, maka petugas harus mengambil tindakan dengan melakukan
dekompresi memakai jarum besar (needle thoracocentesis), menusuk dengan jarum
besar ini dilakukan diruang intercostal 2 (ICS 2) pada garismid-klavikula.
3) Hematothorax masif
Pada keadaan ini
terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada. Pada keadaan ini akan terjadi sesak
karena darah dalam rongga pleura, dan syok karena kehilangan darah. Tidak
banyak yang dapat dilakukan pra-RS pada keadaan ini. Satu-satunya cara adalah
dengan mengganti darah yang hilang dengan pemasangan infus dan membawa
penderita secepat mungkin ke RS dengan harapan masih dapat menyelamatkan dengan
tindakan yang cepat di UGD yaitu tindakan “thoracotomy”.
4) Flail chest
Terjadinya flail chest dikarenakan fraktur iga
multiple pada dua atau lebih tulang dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya
segmen flail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Pada ekspirasi
segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi justru akan masuk kedalam. Ini
dikenal sebagai pernafasan paradoksal.
Kelainan ini akan
mengganggu ventilasi, namun yang lebih diwaspadai adalah adanya kontusio paru
yang terjadi. Sesak berat yang mungkin terjadi harus dibantu dengan oksigenasi
dan mungkin diperlukan ventilasi tambahan. Di RS penderita akan dipasang pada
respirator, apabila analisis gas darah menunjukkan pO2 yang rendah atau yang
tinggi.
flail chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena spilnting pada awalanya
(terbelat) dengan dinding. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan thorax bergerak
secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang
abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis.
c. Circulation
Cidera thorax yang
akan mempengaruhi sirkulasi dan harus ditemukan pada primery survei adalah
hematothorax masif karena terkumpulnya darah dengan cepatdi rongga pleura. Juga
dapat terjadi pada temponade jantung, walaupun penderita datang tidak dalam
keadaan sesak namun dalam keadaan syok (syok non hemoragik). Terjadi paling sering
karena luka tajam jantung, walaupun trauma tumpul juga dapat menyebabkannya.
Karena darah terkumpul
dalam rongga perikardium, maka kontraksi jantung terganggu sehingga timbul syok
yang berat (syok kardiogenik). Biasanya ada pelebaran pembuluh darah vena
leher, disertai bunyi jantung yang jauh dan nadi yang kecil.
Pada infus yang
diguyur tidak banyak menimbulkan respon. Seharusnya pada penderita ini
dilakukan perikardio-sintesis, yaitu penusukan rongga perikardium dengan jarum
besar untuk mengeluarkan darah tersebut. Beberapa keadaan yang dapat dikenali
pada survei sekunder :
1) Fraktur iga
Secondary survey
membutuhkan pemeriksaan yang lebih teliti, sehingga pada fraktur iga multiple
atau fraktur iga pertama dan atau iga kedua harus dicurigai bahwa cidera yang
terjadi pada thorax dan jaringan lunak dibawahnya sangat berat. Gejalanya
adalah nyeri pada pernafasan. Ketakutan akan nyeri pada pernafasan ini
menyebabkan pernafasan menjadi dangkal, serta takut batuk. Patah tulang iga
sendiri tidak terlalu berbahaya, dan pra-RS tidak memerlukan tindakan apa-apa.
Yang harus lebih diwaspadai adalah timbulnya pneumo/hematothorax.
2) Kontusio paru
Pada kontusio paru
yang sering ditemukan adalah kegagalan dalam bernafas yang dapat timbul
perlahan atau berkembang sesuai waktu, tidak waktu, tidak langsung terjadi
setelah kejadian. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan
evaluasi penderita berulang-ulang.
Beberapa cidera thorax yang
mungkin mematikan seperti pneumothorax sederhana, ruptur aorta, ruptur diafragma,
perforasi esofagus, dsb. Tidak mungkin dapat dikenali pada fase pra-RS. Untuk
di RS dapat dikenali melalui pemeriksaan radiologi (USG, X-Ray, CT-SCAN, dll)
D.
MANIFESTASI KLINIS
1.
Tamponade jantung :
· Trauma tajam didaerah perikardium atau
yang diperkirakan menembus jantung.
· Gelisah.
· Pucat, keringat dingin.
· Peninggian TVJ (tekanan vena
jugularis).
· Pekak jantung melebar.
· Bunyi jantung melemah.
· Terdapat tanda-tanda paradoxical
pulse pressure.
· ECG terdapat low voltage seluruh
lead.
· Perikardiosentesis keluar darah
(FKUI, 1995).
2.
Hematotoraks :
· Pada WSD darah yang keluar cukup
banyak dari WSD.
· Gangguan pernapasan (FKUI, 1995).
3.
Pneumothoraks :
· Nyeri dada mendadak dan sesak napas.
· Gagal pernapasan dengan sianosis.
· Kolaps sirkulasi.
· Dada atau sisi yang terkena lebih
resonan pada perkusi dan suara napas yang terdengar jauh atau tidak terdengar
sama sekali.
· pada auskultasi terdengar bunyi klik
(Ovedoff, 2002).
· Jarang terdapat luka rongga dada, walaupun
terdapat luka internal hebat seperti aorta yang ruptur. Luka tikaman dapat
penetrasi melewati diafragma dan menimbulkan luka intra-abdominal (Mowschenson,
1990).
E. Pengkajian primer
kasus
Point yang penting dalam
riwayat keperawatan :
1.
Umur : Sering terjadi usia 18 -
30 tahun.
2.
Alergi terhadap obat, makanan tertentu.
3.
Pengobatan terakhir.
4.
Pengalaman pembedahan.
5.
Riwayat penyakit dahulu.
6.
Riwayat penyakit sekarang.
7.
Keluhan.
Pemeriksaan Fisik :
1.
Sistem Pernapasan :
·
Sesak napas
·
Nyeri, batuk-batuk.
·
Terdapat retraksi
klavikula/dada.
·
Pengambangan paru tidak
simetris.
·
Fremitus menurun dibandingkan
dengan sisi yang lain.
·
Pada perkusi ditemukan Adanya
suara sonor/hipersonor/timpani, hematotraks (redup)
·
Pada asukultasi suara nafas
menurun, bising napas yang berkurang/menghilang.
·
Pekak dengan batas seperti
garis miring/tidak jelas.
·
Dispnea dengan aktivitas
ataupun istirahat.
·
Gerakan dada tidak sama waktu
bernapas.
2.
Sistem Kardiovaskuler :
·
Nyeri dada meningkat karena
pernapasan dan batuk.
·
Takhikardia, lemah
·
Pucat, Hb turun /normal.
·
Hipotensi.
3.
Sistem Persyarafan :
·
Tidak ada kelainan.
4.
Sistem Perkemihan.
·
Tidak ada kelainan.
- Sistem Pencernaan :
·
Tidak ada kelainan.
- Sistem
Muskuloskeletal - Integumen.
·
Kemampuan sendi terbatas.
·
Ada luka bekas tusukan benda
tajam.
·
Terdapat kelemahan.
·
Kulit pucat, sianosis,
berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
- Sistem Endokrine :
·
Terjadi peningkatan
metabolisme.
·
Kelemahan.
- Sistem Sosial /
Interaksi.
·
Tidak ada hambatan.
- Spiritual :
·
Ansietas, gelisah, bingung,
pingsan.
10.
Pemeriksaan Diagnostik :
·
Sinar X dada : menyatakan
akumulasi udara/cairan pada area pleural.
·
Pa Co2 kadang-kadang menurun.
·
Pa O2 normal / menurun.
·
Saturasi O2 menurun (biasanya).
·
Hb mungkin menurun (kehilangan
darah).
·
Toraksentesis : menyatakan
darah/cairan,
F.
Rencana tindakan
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a.
Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga
dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh
dalam shock.
b.
Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing"
dapat kembali seperti yang seharusnya.
c.
Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
"mechanis of breathing" tetap baik.
Perawatan WSD
dan pedoman latihanya :
a.
Mencegah infeksi di bagian
masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2
hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian
masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b.
Mengurangi rasa sakit dibagian
masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
c.
Dalam perawatan yang harus
diperhatikan :
·
Penetapan slang.
Slang diatur
se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan
bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat
dikurangi.
·
Pergantian posisi badan.
Usahakan agar
pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi
tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil
mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.
2.
Mendorong berkembangnya
paru-paru.
a.
Dengan WSD/Bullow drainage
diharapkan paru mengembang.
b.
Latihan napas dalam.
c.
Latihan batuk yang efisien :
batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.
d.
Kontrol dengan pemeriksaan
fisik dan radiologi.
3.
Perhatikan keadaan dan
banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam
24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam
melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan
bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.
4.
Suction harus berjalan
efektif :
Perhatikan setiap
15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24
jam setelah operasi.
Perhatikan
banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan
pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
Perlu sering
dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik,
coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke
posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang
tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang
tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.
5.
Perawatan "slang"
dan botol WSD/ Bullow drainage.
a.
Cairan dalam botol WSD diganti
setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.
b.
Setiap hendak mengganti botol
dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow
drainage.
c.
Penggantian botol harus
"tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem"
slang pada dua tempat dengan kocher.
d.
Setiap penggantian botol/slang
harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
e.
Penggantian harus juga
memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung tangan.
f.
Cegah bahaya yang menggangu
tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh
karena kesalahan dll.
6.
Dinyatakan berhasil, bila :
a.
Paru sudah mengembang penuh
pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b.
Darah cairan tidak keluar dari
WSD / Bullow drainage.
c.
Tidak ada pus dari selang WSD.
7.
Pemeriksaan penunjang
a. X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
b. Diagnosis fisik :
1)
Bila pneumotoraks < 30% atau
hematothorax ringan (300cc) terap simtomatik, observasi.
2)
Bila pneumotoraks > 30% atau
hematothorax sedang (300cc) drainase cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk
melakukan drainase dengan continues suction unit.
3)
Pada keadaan pneumothoraks yang
residif lebih dari dua kali harus dipertimbangkan thorakotomi
4)
Pada hematotoraks yang massif
(terdapat perdarahan melalui drain lebih dari 800 cc segera thorakotomi.
G.
SOP perawatan WSD
NO
|
ASPEK YANG DINILAI
|
NILAI
|
||
YA
|
TIDAK
|
KET
|
||
TAHAP PRE INTERAKSI
|
||||
1
|
Chek catatan medis dan perawatan
|
|
|
|
2
|
Cuci tangan
|
|
|
|
3
|
Menyiapkan alat-alat yang diperlukan :
Sarung tangan, botol WSD baru berisi cairan Aquades
ditambahkan dengan desinfektan, klem, bengkok, set perawatan WSD, NaCL, dan
betadin
|
|
|
|
TAHAP ORIENTASI
|
||||
4
|
Memberi salam, panggil klien serta mengenalkan diri
|
|
|
|
5
|
Menerangkan prosedur dan tujuan tindakan perawatan WSD
|
|
|
|
TAHAP KERJA
|
||||
6
|
Memberikan kesempatan pada klien untuk bertanya
|
|
|
|
7
|
Menjaga privasi
|
|
|
|
8
|
Membantu klien untuk mengatur posisi yang nyaman dalam
posisi fowler ataupun semifowler
|
|
|
|
9
|
Tempatkan botol WSD tegak lurus untuk mencegah terjadinya
kecelakaan
|
|
|
|
10
|
Jika balutan pada pada luka insisi basah lakukan perawatan
luka pada posisi pada lokasi insisi dengan tehnik septik dan aseptik
|
|
|
|
11
|
Beri label pada botol botol drainase. Observasi dan catat
jumlah dan pengeluaran, warna, dan karakteristik
|
|
|
|
12
|
Jika botol drainagen penuh ganti dengan botol ateril yang
baru, selang botol WSD diklem dahulu
|
|
|
|
13
|
Ganti botol WSD dan lepas kembali klem
|
|
|
|
14
|
Amati undulasi dalam selang WSD
|
|
|
|
15
|
Rapikan alat-alat
|
|
|
|
TAHAP TERMINASI
|
||||
16
|
Mengevaluasi klien
|
|
|
|
17
|
Memberikan reinforcement
|
|
|
|
18
|
Kontrak untuk kegiatan selanjutnya
|
|
|
|
19
|
Cuci tangan
|
|
|
|
20
|
pendokumentasian
|
|
|
|
NILAI TOTAL
|
|
|
|
Cara pemasangan WSD
1.
Tentukan tempat pemasangan,
biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea aksilaris anterior dan media
2.
Lakukan analgesia / anestesia
pada tempat yang telah ditentukan
3.
Buat insisi kulit dan sub cutis
searah dengan pinggir iga, perdalam sampai muskulus intercostalis.
4.
Masukkan kelly klemp melalui
pleura parietalis kemudian dilebarkan. Masukkan jari melalui lubang tersebut
untuk memastikan sudah sampai rongga pleura / menyentuh paru.
5.
Masukkan selang (chest tube)
melalui lubang yang telah dibuat dengan menggunakan kelly forceps.
6.
Selang (chest tube) yang telah
terpasang. Difiksasi dengan jahitan ke dinding dada
7.
Selang (chest tube) disambung
ke WSD yang telah disiapkan.
8.
Foto X-Ray dada untuk menilai
posisi selang yang telah dimasukkan.
H.
Hal –hal yang harus di evaluasidari respon pasien
setelah tindakan utama
B1
(Breath)
·
Kaji ada tidaknya kesulitan bernafas seperti adanya keluhan sesak
·
Batuk (produktif atau tidak produktif, secret, warna, konsistensi, bau)
·
Irama nafas pasien (teratur/tidak teratur), takipnea
·
Adanya peningkatan kerja nafas, penggunaan otot bantu dada, retraksi
interkostal
·
Fremitus fokal
·
Perkusi dada : hipersonor
·
Pada inspeksi dan palpasi dada tidak simetris
·
Pada kulit terdapat sianosis, pucat, krepitasi subkutan
B2
(Blood)
·
Taki kardi, irama jantung tidak teratur ( disaritmia )
·
Suara jantung III, IV, galop / gagal jantung sekunder
·
Hipertensi / hipotensi
·
CRT untuk mengetahui tingkat perfusi perifer, normalnya < 3 detik
·
Akral : hangat, panas, dingin, kering atau basah
B3
(Brain)
·
Tentukan GCS pasien
·
Tentukan adanya keluhan pusing,
·
Lamanya istirahat/tidur, normal kebutuhan istirahat tiap hari adalah
sekitar 6-7 jam.
·
Ada tidaknya gangguan pada nerves pendengaran, penglihatan, penciuman.
·
Kaji adanya nyeri, tentukan skala nyeri pasien, lokasi nyeri
B4
(Bladder)
·
Keluhan kencing : nocturia, poliuria, disuria, oliguria, anuria, retensi,
inkontinensia
·
Produksi urine tiap hari, warna, dan bau. Produksi urine normal adalah
sekitar 500cc/hari dan berwarna kuning bening
·
Keadaan kandung kemih : membesar atau tidak, adanya nyeri tekan
·
Intake cairan tiap hari, pemberiannya melalui oral atau parenteral. Intake
cairan yang normal setiap hari adalah sekitar 1 liter air.
·
Kaji ada tidaknya penggunaan alat bantu kateter
B5
(Bowel)
·
Kaji keadaan mulut pasien: bersih, kotor atau berbau
·
Keadaan mukosa: lembab, kerig, stomatitis
·
Tenggorokan : adanya nyeri menelan, pembesaran tonsil, nyeri tekan
·
Keadaan abdomen: tegang, kembung atau ascites
·
Adanya nyeri tekan, ada tidaknya luka bekas operasi
·
Peristaltic usus tiap menitnya
·
Frekuensi BAB tiap hari da konsistensinya (keras, lunak, cair atau
berdarah)
·
Nafsu makan, adanya diet makanan dan porsi makan tiap hari
B6
(Bone)
·
Tentukan pergerakan sendi pasien (bebas, terbatas)
·
Kaji adanya kelainan ekstermitas, kelainan tualang belakang dan fraktur
·
Keadaan kulit: ikteri, siaonis, kemerahan atau hiperglikemi
·
Keadaan turgor kulit
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (1997). Diagnosa
Keperawatan. Jakarta : EGC.
Depkes. RI. (1989). Perawatan
Pasien Yang Merupakan Kasus-Kasus Bedah. Jakarta : Pusdiknakes.
Doegoes, L.M. (1999). Perencanaan
Keperawatan dan Dokumentasian keperawatan. Jakarta : EGC.
Hudak, C.M. (1999) Keperawatan
Kritis. Jakarta : EGC.
Pusponegoro, A.D.(1995). Ilmu
Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia .