Monday, 6 February 2012

Asuhan keperawatan pada klien dengan stroke non hemoragik


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Gaya hidup manusia dewasa ini semakin mengarah kepada gaya hidup yang pragmatis. Semuanya memenuhi kebutuhan hidup secara instan dan praktis, dan mengabaikan segala hal yang ada di balik pragmatisme dalam hidup tersebut. Hal ini tentu akan membawa berbagai konsekuensi, dan konsekuensi yang paling rentan adalah masalah kesehatan. Pola hidup yang instan seperti makan makanan junk food, merokok dan  minum  kopi yang berlebihan untuk mengusir rasa kantuk akibat lelah kerja, tidak pernah melakukan olah raga karena harus mengejar karier serta gaya hidup yang selalu identik dengan narkoba, rokok dan alkohol maka segala penyakit akan datang menyerang. Bermula dari kelebihan kolesterol, kelelahan karena kurang istirahat, tingkat stres yang tinggi dan hipertensi maka timbullah berbagai penyakit seperti jantung dan stroke.

Menurut Batticaca (2008) stroke masih merupakan masalah medis yang menjadi penyebab kesakitan dan kematian nomor 2 di Eropa serta nomor 3 di Amerika Serikat. Sebanyak 10% penderita stroke mengalami kelemahan yang memerlukan perawatan. Penyakit ini juga menimbulkan kecacatan terbanyak pada kelompok usia dewasa yang masih produktif. Tingginya kasus stroke ini salah satunya dipicu oleh rendahnya kepedulian masyarakat dalam mengatasi berbagai faktor resiko yang dapat menimbulakan stroke. Penyebab stroke adalah pecahnya (ruptur) pembuluh darah di otak dan atau terjadinya trombosis dan emboli. Gumpalan darah akan masuk ke aliran darah sebagai akibat dari penyakit lain atau karena adanya bagian otak yang cedera dan menutup atau menyumbat arteri otak. Secara sederhana stroke didefinisikan sebagai penyakit  otak akibat terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan atau perdarahan dengan gejala lemas, lumpuh sesaat, atau gejala berat sampai hilangnya kesadaran, dan kematian.

Menurut ctella93 (2008), di Indonesia stroke merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan, menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut, sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di kasur.

Data pencatatan dari rekam medik di Ruang Bougenville Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung diketahui bahwa sejak bulan Januari  – Juni 2011 terdapat sebanyak 663 orang yang terdiri dari berbagai penyakit diantaranya: cidera kepala 260 orang (39%), stroke non hemoragik 172 orang (26%), stroke hemoragik 95 orang (14%), dan lain-lain seperti: cephalgia, meningitis, dan sol 140 orang (21%).

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menjadikan penyakit stroke sebagai makalah ilmiah, agar penulis lebih memahami bagaimana proses keperawatan yang dilakukan pada klien dengan penyakit stroke. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan penulis mengambil judul makalah: Asuhan Keperawatan Pada Tn. U dengan gangguan system persyarafan: Stroke Non Hemoragik di ruang Bougenvile RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

B.     Tujuan Penulisan
1.                  Tujuan Umum
Penulis mampu menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif yang meliputi aspek biopsikososiospritual pada klien dengan stroke non hemoragik dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.
2.                  Tujuan Khusus
Penulis mampu menggambarkan:
a.       Konsep teori penyakit stroke non hemoragik.
b.      Pengkajian status kesehatan pada Tn. U dengan masalah stroke non hemoragik  secara komprehensif melalui pendekatan proses keperawatan.
c.       Diagnosa keperawatan yang  muncul pada Tn. U dengan masalah stroke non hemoragik.
d.      Rencana asuhan keperawatan sesuai dengan diagnosa yang muncul pada Tn. U dengan stroke non hemoragik.
e.       Pelaksanaan implementasi keperawatan terhadap Tn. U dengan stroke non hemoragik.
f.       Evaluasi asuhan keperawatan pada Tn. U dengan stroke non hemoragik.
g.      Pendokumentasian asuhan keperawatan yang benar pada Tn. U dengan stroke non hemoragik.

C.          Ruang Lingkup
Ruang lingkup laporan study kasus ini mengacu pada masalah keperawatan pada system persyarafan: Stroke Non Hemoragik pada Tn. U diruang Buogenvile RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung yang dilaksanakan pada tanggal 09 s/d 11 Juni 2011 dengan menggunakan proses keperawatan.

D.          Metode Penulisan
Metode penulisan laporan ini menggunakan metode deskriptif yang berbentuk study kasus.  Tekhnik pengambilan data pada kasus dengan pengamatan atau observasi langsung ke klien, wawancara, pemeriksaan fisik, dokumentasi atau catatan perawatan, partisipasi aktif  dan studi kepustakaan.








E.           Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang diuraikan dalam laporan kasus ini dibagi menjadi 5 Bab, yaitu:
BAB I                : PENDAHULUAN
                           Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan, ruang lingkup, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II                : TINJAUAN TEORI
                           Landasan teori meliputi konsep dasar penyakit, berisi definisi, etiologi, manifestasi klinis, komplikasi, diagnostik, penatalaksanaan medik dan keperawatan, konsep dasar  asuhan keperawatan, berisikan pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi dan evaluasi.
BAB III               : TINJAUAN KASUS
                             Meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa  keperawatan,   perencanaan keperawatan, pelaksanaan keperawatan, evaluasi dan catatan perkembangan.
BAB IV               : PEMBAHASAN
BAB V                : PENUTUP
                           Meliputi kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

    A.      Konsep Dasar
1.      Definisi
Menurut Batticaca (2008), stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian.

Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan terhentinya suplai darah kebagian otak  (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Ginsberg (2008), stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/gejala hilangnya fungsi system syaraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit).

Sedangkan menurut Muttaqin (2008), stroke sebagai sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal yang berlangsung 24 jam atau lebih tanpa penyebab lain kecuali gangguan pembuluh darah otak.

                    
2.      Klasifikasi Stroke
a.       Menurut Muttaqin (2008), klasifikasi stroke berdasarkan keadaan patologis dari serangan stroke meliputi:
1)      Stroke hemoragik
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subaraknoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif,  namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran klien umumnya menurun. Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:
a)     Perdarahan Intraserebri (PIS)
Pecahnya pembuluh darah terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema otak.
b)   Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry, aneurisma yang  berasal dari pembuluh darah sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya. Dapat menimbulkan nyeri kepala hebat, sering juga dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsang selaput otak lainnya, dapat pula terjadi penurunan kesadaran.

c)   Sub Dural Hemoragic (SDH)
Biasanya terjadi robeknya jembatan vena sehingga periode pembentukan hematoma lebih lama dan menyebabkan tekanan pada otak.
d)  Epidural Hemoragic (EDH)
Adalah kedaruratan bedah neuro yang memerlukan perawatan segera. Ini biasanya mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah atau arteri meninges lain. Pasien harus diatasi dalam beberapa jam untuk mempertahankan hidup.
2)   Stroke Non Hemoragik 
Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebri, umumnya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur pada dipagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia, kesadaran umumnya baik.
b.      Menurut Batticaca (2008), klasifikasi stroke dibagi menjadi:
1)      Stroke iskemik (infark atau kematian jaringan). Serangan sering terjadi pada usia 50 tahun atau lebih dan terjadi pada malam hingga pagi hari.
a)      Trombosis pada pembuluh darah otak (trombosis of cerebral vessels).
b)      Emboli pada pembuluh darah (embolism of cerebral vessels)
2)      Stroke hemoragik (perdarahan). Serangan sering terjadi pada usia 20-60 tahundan biasanya timbul setelah beraktivitas fisik atau karena psikologis (mental).
a)      Perdarahan intraserebral (parenchymatous hemorrhage)
Gejalanya:
(1)      Tidak jelas, kecuali nyeri kepala hebat karena hipertensi.
(2)      Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktivitas, dan emosi atau marah.
(3)      Mual atau muntah pada permulaan serangan.
(4)      Hemiparasis atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan.
(5)      Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65% terjadi kurang dari ½ jam-2 jam; < 2% terjadi setelah 2 jam- 19 hari).
b)      Perdarahan subarachnoid (subarachnoid hemorrhage)
Gejalanya:
(1)      Nyeri kepala hebat dan mendadak.
(2)      Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi.
(3)      Ada gejala atau tanda meningeal.
(4)      Papiledema terjadi bila ada perdarahan subarachnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna.

3.      Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2002), keadaaan yang dapat menyebabkan stroke:
a.       Trombosis Serebri
Trombosis (penyakit trombo-okulsif) merupakan penyebab stroke yang paling sering dikaitkan dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan trombosis otak:
1)      Aterosklerosis
Ateroskleroris adalah pengerasan pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan dan elastisitas pembuluh darah.
2)      Hiperkoagulasi pada polisitemia
Darah bertambah kental, penambahan viskositas atau hematokrit meningkat dapat melambatkan aliran darah serebri.
3)      Arteritis
Radang pada arteri.
b.      Embolisme Serebral
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari trombus di jantung yang terlepas yang merupakan perwujutan penyakit jantung.

c.       Hemoragik
1)      Hemoragi ekstradural atau epidural
Hemoragi ekstradural merupakan kedaruratan bedah neuro yang memerlukan perawatan segera dan biasanya mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah atau arteri meningen lain. Pasien harus diatasi dalam beberapa jam cidera untuk mempertahankan hidup.
2)      Hemoragi subdural
Hemoragi subdural pada dasarnya sama dengan hemoragi epidural, kecuali bahwa hematom lebih lama dan menyebabkan tekanan pada otak.
3)      Hemoragi subarakhnoid
Hemoragi subarakhnoid dapat terjadi akibat trauma atau hipertensi, tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme pada sirkulus willisi dan malformasi arteri vena kongenital pada otak.
4)      Hemoragi intra serebral
Perdarahan di subtansi dalam otak paling umum pada pasien dengan hipertensi aterosklerosis serebral, karena perubahan degeneratif yang ruptur pembuluh darah.


d.      Hipoksia umum
Pada keadaan hipertensi yang parah jantung dapat mengalami pembengkakan dan gangguan dalam irama, sehingga dapat menurunkan curah jantung, selain itu pula keelastisitasan pembuluh darah berkurang dan pembuluh darah dapat mengalami arterosklerosis. Pada keadaan tersebut suplai darah ke jaringan tubuh dapat terganggu, apabila gangguan tersebut mengenai jaringan otak maka suplai oksigen dan nutrisi bagi otak akan berkurang, bila keadaan itu terus berlanjut maka dapat mengalami iskemi dan hipoksia dan berakibat kematian jaringan otak.
e.       Hipoksia lokal
Spasme arteri serebri ataupun vasokontriksi arteri otak dapat menghambat aliran darah ke otak sehingga otak mengalami iskemi.
4.      Faktor Resiko Stroke
Menurut Smeltzer & Bare (2002), faktor  resiko terjadinya stroke sebagai berikut:
a.       Hipertensi
Pengendalian hipertensi adalah kunci untuk mencegah stroke.
b.      Penyakit kardiovaskuler
c.       Kolesterol tinggi
d.      Obesitas
e.       Diabetes
f.       Merokok
5.      Patofisiologi
Skema  2.1. Patofisiologi
Patofisiologi Stroke menurut Muttaqin (2008).
Penyebab (Trombosis, emboli dan perdarahan)

Oklusi
Penurunan perfusi jaringan serebral

Iskemia

Metabolisme anaerob                                   Aktivitas elektrolit terhenti
    
     Penimbunan asam laktat                                     Pompa Na dan K gagal


 


                                                                  Edema serebral

  Perfusi otak menurun
                  
                  Nekrosis jaringan otak




Keterangan Skema:
Trombosis, emboli dan perdarahan serebral merupakan faktor penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya oklusi pada pembuluh darah otak, sehingga akan terjadi penurunan perfusi jaringan serebral, karena suplai oksigen dalam jaringan berkurang sehingga akan terjadi iskemia kemudian terjadi metabolisme anaerob dan menimbulkan penimbunan asam laktat, dari iskemia juga dapat menghentikan aktivitas elektrolit sehingga pompa Na dan K gagal, mengakibatkan edema serebral sehingga perfusi jaringan otak menurun dan terjadi nekrosis jaringan serebral atau stroke.
6.      Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer & Bare (2002), stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis bergantung pada lokasi lesi, ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori).
a.       Kehilangan motorik
Stroke adalah penyakit motor neuron dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerak motorik. Karena neuron motor atas melintas, gangguan kontrol volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motor yang paling umum adalah
1)   Hemiplegia, yaitu paralisis pada salah satu sisi.
2)   Hemiparesis, yaitu kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
b.      Kehilangan komunikasi
Fungsi otak yang dipengaruhi stroke adalah bahasa dan komunikasi.
1)      Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
2)      Disfasia atau Afasia (kehilangan bicara), yang terutama ekspresif atau reseptif.
3)      Apraksia (ketidak mampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika pasien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
c.       Gangguan persepsi
Persepsi adalah ketidakmampuan menginterprestasikan sensasi.
1)      Disfungsi persepsi visual
Kehilangan setengah lapang pandang (hemianopsia), sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh yang paralisis.
2)      Kehilangan sensori
Stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan kemampuan untuk merasakan posisi dan gerak bagian tubuh serta kesulitan dalam menginterpretasikan strimulasi visual, taktil dan auditorius.

d.      Gangguan fungsi koknitif dan efek psikologis
Bila kerusakan terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori atau fungsi kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini ditunjukan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi.
e.       Disfungsi kandung kemih
Setelah stroke, pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik postural.
Berdasarkan bagian hemisfer yang terkena tanda dan gejala dapat berupa:
a.       Stroke hemisfer kanan
Hemiparesis atau hemiplegia pada sisi kiri tubuh, defek lapang penglihatan kiri, defisit persepsi, prilaku implusif dan penilaian buruk, kurang kesadaran terhadap defisit.
b.      Stroke hemisfer kiri
Hemiparesis atau hemiplegia kanan, defek lapang pandang kanan, afasia (ekspresif, reseptif atau global), prilaku lambat dan kewaspadaan.



7.      Komplikasi
Menurut Smeltzer & Bare (2002), setelah mengalami stroke klien mungkin akan mengalami komplikasi yang dapat dikelompokan berdasarkan:
a.         Hipoksia serebral
b.        Hipertensi atau hipotansi
c.         Embolisme serebral
8.      Pemeriksaan Penunjang
a.       Pemeriksaan laboratorium
Menurut Muttaqin (2008), pemeriksaan laboratorium pada stroke sebagai berikut:
1)      Darah rutin.
2)      Pemeriksaan kimia darah: Gula darah.
3)      Cairan serebrospinal.
4)      Pemeriksaan darah lengkap.
b.      Pemeriksaan diagnostik
Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), pemeriksaan diagnostik pada stroke sebagai berikut:
1.    CT Scan Memperlihatkan adanya edema , hiperdens (perdarahan), iskemia dan adanya infark.
2.    Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
3.    Pungsi Lumbal
a)    Menunjukan adanya tekanan normal.
b)    Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan.
4.    Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena.
5.    Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal  
9.      Penatalaksanaan umum
a.       Medik
Penatalaksaan Medik menurut Muttaqin (2008), adalah:
1)      Menurunkan kerusakan iskemik serebral dengan mempertahankan saluran napas yaitu : oksigenisasi, penghisapan lendir, bila perlu lakukan trakeostomi serta dengan vasodilator untuk meningkatkan aliran darah serebral seperti asam nikotinat tolazin dan jenis lainnya
2)      Pemberian trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue plasminogen)
3)      Pemberian obat-obatan seperti digoksin pada aritmia jantung atau alfa beta, kaptropil, antagonis kalsium pada pasien dengan hipertensi.
4)      Pemberian Steroid guna menurunkan permeabilitas kapiler.
5)      Pemberian Osmotis Diuretika seperti  manitol, lasix atau furosemide untuk menurunkan edema serebral.
6)      Pemberian Anti koagulan untuk mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardivaskuler (Smeltzer & Bare, 2000).

b.      Keperawatan
Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), tindakan yang dilakukan pada pasien stroke:
1)        Meningkatkan perfusi dan oksigenasi serebral yang adekuat.
2)        Mencegah atau meminimalkan komplikasi dan ketidakmampuan yang bersifat permanen.
3)        Membantu pasien untuk menemukan kemandiriannya dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
4)        Memberikan dukungan terhadap proses koping dan mengintegrasikan perubahan dalam konsep diri pasien.
5)        Memberikan informasi tentang proses penyakit atau prognosisnya dan kebutuhan tindakan atau rehabilitasi.






       B      Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), secara teoritis data yang perlu dikaji dari pasien stroke adalah sebagai berikut:
a.       Aktivitas / Istirahat
Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan,  kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia).
Tanda: gangguan tonus otot, paralitik dan kelemahan umum, gangguan penglihatan, dan gangguan tingkat kesadaran.
b.      Sirkulasi
Gejala: adanya penykit jantung ( penyakit jantung vaskular, endokarditis), polisitemia, dan riwayat hipotensi postural.
Tanda: hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme atau malformasi vaskular. Frekuensi nadi dapat bervariasi karena ketidaksetabilan fungsi jantung, obat-obatan dan efek stroke pada pusat vasomotor.
c.       Integritas ego
Gejala: perasaan tidak berdaya, dan putus asa.
Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, gembira, dan kesulitan untuk mengekspresikan diri.


d.      Eliminasi
Gejala: perubahan pola berkemih seperti inkontinensia, anuria, distensi abdomen, dan bising usus negatif.
e.       Makanan/cairan
Gejala: nafsu makan hilang, mual dan muntah selama fase akut (peningkatan TIK). Kehilangan sensasi rasa kecap pada lidah, pipi dan tenggorokan, disfagia. Adanya riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah.
Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada reflek palatum dan faringeal), dan obesitas (faktor resiko).
f.       Neurosensori
Gejala: sinkop atau pusing, sakit kepala, akan sangat berat dengan adanya PIS atau PSA, kelemahan, kesemutan, atau kebas. Penglihatan menurun, kehilangan daya lihat sebagian, penglihatan ganda. Sentuhan, hilangnya rangsang sensorik kolateral pada ekstermitas dan kadang-kadang ipsilateral pada wajah. Gangguan rasa pengecapan dan penciuman.
Tanda: status mental atau tingkat kesadaran menurun, gangguan tingkah laku (letargi, apatis, menyerang), gangguan fungsi kognitif atau penurunan memori, kelemahan atau paralisis pada ekstermitas, reflek tendon melemah. Afasia, kehilanagan kemempuan menggunakan motorik (afraksia), ukuran atau reaksi pupil tidak sama, dan kejang.
g.      Nyeri/ Kenyamanan
Gejala: sakit kepala dengan intesitas yang berbeda-beda.
Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, dan ketegangan pada otot (fasia).
h.      Pernafasan
Gejala: merokok
Tanda: ketidak mampuan menelan, batuk, hambatan jalan nafas. Timbulnya pernafasan sulit, tidak teratur, dan suara nafas terdengar ronchi.
i.        Interaksi sosial
Tanda: masalah bicara, dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi.
j.        Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke, pemakaian kontrasepsi oral, dan kecanduan alkohol.



2.      Diagnosa Keperawatan (DX. Kep)
Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan stroke antara lain:
a.       Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan  gangguan interupsi aliran darah, oklusif, hemoragi, edema serebral, vasospasme.
b.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan  kerusakan neuromuskular: hemiparese atau hemiplegia.
c.       Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuskular: kerusakan pada area bicara (afasia), kehilangan kontrol tonus otot facial.
d.      Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi saraf sensori.
e.       Kurang perawatan diri: aktivitas daili (ADL) berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan atau tahanan, kehilangan kontrol atau koordinasi otot.

Sedangkan menurut Batticaca (2008), diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan stroke antara lain:
a.       Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
b.      Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial.
c.       Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular.
d.      Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sirkulasi serebral.
e.       Defisit perawatan diri berhubungan dengan paralisi, hemiparase, quadriplegi.
f.       Resiko ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.

3.      Rencana Tindakan Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah upaya yang dilakukan perawat untuk mencapai hasil yang diharapkan yaitu kesembuhan pasien dan kemampuan pasien melakukan atau memenuhi kebutuhan hidupnya kembali dan tujuan pemulangan pasien. Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), rencana tindakan pada pasien dengan stroke adalah sebagai berikut:
a.       Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan interupsi aliran darah, oklusif, hemoragi, edema serebral, vasospasme.
Tujuan: perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu: klien tidak gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, atau kejang. GCS: 15 (E:4 M:6 V:5), tanda-tanda vital dalam batas normal, tingkat kesadaran membaik, dan tidak ada penurunan fungsi neurologis.
Intervensi:
1)      Kaji faktor penyebab dan beri penjelasan kepada keluarga tentang sebab-sabab peningkatan TIK dan akibatnya.
Rasional: mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau kemunduran tanda dan gejala neurologis atau kegagalan mempebaikinya setelah fase awal memerlukan tindakan pembedahan dan atau pasien harus dipindahkan keruang perawatan kritis (ICU) untuk melakukan pemantauan TIK. 
2)      Pantau atau catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normalnya.
Rasional: dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
3)      Monitor tanda-tanda vital seperti: (tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi pernafasan).
Rasional: pada keadaan normal, otoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan otoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler serebri yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolik, sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi.
4)      Tinggikan posisi kepala 30-450 dan dalam posisi anatomis (netral).
Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi atau perfusi serebral.
5)      Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang, dan batasi pengunjung.
Rasional: aktivitas atau stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK.
6)      Anjurkan klien untuk tidak menekuk lutut, batuk, bersin atau mengejan berlebihan.
Rasional: batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
7)      Kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi.
Rasional: menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan tekanan meningkat atau terbentuknya edema.
8)      Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi: antikoagulan heparin, antifibrolitik asam aminocaproid, antihipertensi, steroid, diuretik,
Rasional: dapat digunakan untuk memperbaiki aliran darah serebral, untuk mencegah lisis bekuan yang terbentuk dan perdarahan berulang.
b.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, hemiparese atau hemiplegi.
Tujuan: klien mampu melaksanakan aktifitas fisik sesuai dengan kemampuannya dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu: klien mempertahankan posisi tubuh secara optimal seperti tidak adanya kontraktur atau footdrop, mempertahankan atau meningkatkan fungsi tubuh yang terkena, klien dapat ikut serta dalam program latihan, mendemonstrasikan tekhnik melakukan aktivitas, mempertahankan integritas kulit, kebutuhan ADL terpenuhi, dan tonus otot meningkat.
Intervensi:
1)      Kaji kemampuan secara fungsional atau luasnya kerusakan awal dan dengan cara yang teratur, klasifikasikan melalui skala 0-4.
Rasional: mengidentifikasi kekuatan atau kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan.
2)      Ubah posisi minimal setiap 2 jam.
Rasional: menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang jelek pada daerah yang tertekan.
3)           Ajarkan klien latihan rentang gerak aktif dan pasif, libatkan keluarga dalam melakukan tindakan.
Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur.
4)          Tempatkan bantal dibawah aksila untuk melakukan abduksi pada tangan.
Rasional: mencegah adduksi bahu dan fleksi siku.
5)          Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi.
Rasional: mempertahankan posisi fungsional.
6)          Pertahankan kaki dalam posisi netral dengan gulungan bantal.
Rasional: mencegah rotasi eksternal pada pinggul.
7)          Inspeksi kulit terutama pada daerah yang tertekan dan menonjol secara teratur, lakukan massage pada daerah tertekan, sanggah tangan dan pergelangan pada kelurusan alamiah.
Rasional: titik-titik tekanan pada daerah yang menonjol paling berisiko untuk terjadinya penurunan perfusi atau iskemia.
8)      Kolaborasi dengan ahli fisiotrapi untuk latihan fisik klien.
Rasional: peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan fisik dari tim fisiotherapis.
c.    Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuskular: kerusakan pada area bicara (afasia), kehilangan kontrol tonus otot facial atau oral, dan kelemahan secara umum.
Tujuan: klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu: terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien terpenuhi, klien mampu berespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat, membuat metode komunikasi, mampu mengekspresikan diri dan memahami orang lain.
Intervensi:
1)      Kaji tipe atau derajat disfungsi misalnya klien tidak mengerti tentang kata-kata atau masalah berbicara atau tidak mengerti bahasa sendiri.
Rasional: membantu menentukan kerusakan area pada otak dan menentukan kesulitan klien sebagian atau seluruh proses komunikasi, klien mungkin mempunyai masalah dalam mengartikan kata-kata.
2)       Katakan untuk mengikuti perintah secara sederhana seperti ”tutup matamu” dan ”lihat kepintu”.
      Rasional: untuk menguji afasia reseptif.
3)      Berikan metode komunikasi alternatif misalnya menulis pada papan tulis, menggambar, gunakan kata-kata sederhana secara bertahap dan dengan bahasa tubuh.
      Rasional: memberikan komunikasi dasar sesuai dengan situasi individu.
4)      Antisipasi dan penuhi kebutuhan klien.
      Rasional: membantu menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau ketidakmampuan berkomunikasi.
5)      Mintalah pasien mengucapkan suara sederhana seperti ”Sh” atau
      ”Pus”.
      Rasional: mengidentifikasi disatria komponen bicara (lidah, gerakan bibir).
6)       Anjurkan klien untuk menulis nama atau kalimat pendek, bila tidak mampu anjurkan klien untuk membaca kalimat pendek.
      Rasional: menguji ketidakmampuan menulis (agrafia) dan defisit membaca.
7)      Berbicara dengan nada normal dan hindari ucapan yang terlalu cepat, berikan waktu klien untuk berespon.
      Rasional: klien tidak dipaksa untuk mendengar, tidak menyebabkan klien marah dan tidak menyebabkan rasa frustasi.
d.   Resiko ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.
Tujuan: kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu: asupan dapat masuk sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan menelan, tidak terjadi penurunan berat badan, tidak terpasang sonde.
Intervensi:
1)     Lakukan oral higiene.
      Rasional: kebersihan mulut merangsang nafsu makan.
2)   Observasi intake dan output nutrisi.
      Rasional: mengetahui keseimbangan nutrisi klien.
3)      Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk.
     Rasional: untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien.
4)     Letakan posisi kepala lebih tingggi pada waktu, selama dan sesudah   makan.
     Rasional: untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi.
5)     Stimulasi bibir untuk membuka dan menutup mulut secara manual dengan menekan ringan diatas bibir atau dibawah dagu jika diperlukan.
      Rasional: membantu dalam melatih kembali sensorik dan meningkatkan kembali kontrolmuskular.
6)     Berikan makan perlahan dengan lingkungan yang tenang.
      Rasional: klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi atau gangguan dari luar.
7)     Mulailah untuk memberi makan per oral setengah cair, makanan lunak ketika klien dapat menelan air.
      Rasional: makan lunak/cairan kental mudah untuk mengendalikannya di dalam mulut, dan menurunkan terjadinya aspirasi.
8)     Anjurkan klien menggunakan sedotan minuman cairan.
      Rasional: menguatkan otot fasial dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya tersedak.
9)     Kolaborasi dalam pemberian nutrisi melalui parenteral dan makanan melalui selang.
      Rasional: mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika klien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut.